Dalam perjalanan hidup ini seringkali
kita merasa kecewa. Kecewa sekali. Sesuatu yang luput dari genggaman,
keinginan yang tidak tercapai, kenyataan yang tidak sesuai harapan.
Akhirnya angan ini lelah berandai-andai ria. Sungguh semua itu telah
hadirkan nelangsa yang begitu menggelora dalam jiwa.
Dan sungguh sangat beruntung andai
dalam saat-saat terguncangnya jiwa, masih ada setitik cahaya dalam
kalbu untuk merenungi kebenaran. Masih ada kekuatan untuk
melangkahkan kaki menuju majlis-majlis ilmu, majlis-majlis dzikir
yang akan mengantarkan pada ketenteraman jiwa.
Hidup ini ibarat belantara. Tempat kita
mengejar berbagai keinginan. Dan memang manusia diciptakan mempunyai
kehendak, mempunyai keinginan. Tetapi tidak setiap yang kita inginkan
bisa terbukti, tidak setiap yang kita mahu bisa tercapai. Dan tidak
mudah menyadari bahwa apa yang bukan menjadi hak kita tak perlu kita
tangisi. Banyak orang yang tidak sadar bahwa hidup ini tidak punya
satu hukum: harus sukses, harus bahagia atau harus-harus yang lain.
Betapa banyak orang yang sukses tetapi
lupa bahwa sejatinya itu semua pemberian Allah hingga membuatnya
sombong dan bertindak sewenang-wenang. Begitu juga kegagalan sering
tidak dihadapi dengan benar. Padahal dimensi tauhid dari kegagalan
adalah tidak tercapainya apa yang memang bukan hak kita. Padahal
hakekat kegagalan adalah tidak terengkuhnya apa yang memang bukan hak
kita.
Apa yang memang menjadi jatah kita di
dunia, entah itu rizki, jabatan atau kedudukan, pasti akan Allah
sampaikan. Tetapi apa yang memang bukan milik kita, ia tidak akan
kita bisa miliki. Meski ia nyaris menghampiri kita, meski kita
mati-matian mengusahakannya.
"Tiada suatu bencana pun yang
menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap
apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.." (al-Hadiid:
22-23)
Jalinan kalimat-kalimat diataslah yang menjadi motivasi aku dalam menjalani kehidupanku yang hampir runtuh ketika bencana besar melanda hidupku. Mantan suami yang mempidanakanku, serta anak laki-laki yang selama kehidupannya bahkan masih sejak didalam kandungan aku telah mengorbankan setiap elahan nafas dan nyawaku untuk kehidupannya. Ardi yang telah ingin membunuhku dengan ikut bersaksi memperkarakanku.
Belum berhenti sampai disini, dia merebut Nabilah putri kesayanganku. Lantas sampai detik ini dia belum puas untuk berhenti mengumbar keburukan tentang aku. Tapi alhamdulillah Allah selalu menemaniku didalam dukaku. Keluarga yang penuh kasih terutama mama tercintapun tak pernah henti mendampingi aku dalam luka.
Maka wahai jiwa yang sedang gundah,
dengarkan ini dari Allah:
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagi kamu. Dan boleh jadi kamu mencintai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kamu. Allah Maha mengetahui
sedangkan kamu tidak mengetahui." (al-Baqarah: 216)
Maka setelah ini wahai jiwa, jangan kau
hanyut dalam nestapa jiwa berkepanjangan terhadap apa-apa yang luput
darimu. Setelah ini harus benar-benar dipikirkan bahwa apa-apa yang
kita rasa perlu di dunia ini harus benar-benar perlu, bila ada
relevansinya dengan harapan kita akan bahagia di akhirat. Karena
seorang Mu'min tidak hidup untuk dunia, tetapi menjadikan dunia untuk
mencari hidup yang sesungguhnya: hidup di akhirat kelak. Maka sudahlah, jangan kau tangisi apa
yang bukan milikmu!
Tak pernah aku menyangka hikmah dibalik semua cobaan ini merupakan "Starting Point" bagiku menuju titik balik yang sangat indah. Sangat bahagia. Terima kasih ya Allah telah memberi aku kehidupan yang jauh lebih baik setelah derita. Selalu ada pelangi sehabis hujan reda.
My beloved Mom yang selalu setia menemaniku dalam duka |
No comments:
Post a Comment