Wednesday, November 16, 2016

HUKUM BERJABAT TANGAN ANTARA PRIA DAN WANITA BUKAN MAHRAM

Kadangkala bencana atau musibah dapat mejadi suatu titik balik bagi yang terkena musibah ataupun bencana. Aku semakin menyadari kebenaran dari kalimat “dibalik apapun yang terjadi akan banyak hikmah yang terkandung di dalamnya dan kita baru menyadarinya setelah menemukan makna dari hikmah tersebut”.

Demi melindungi diri sendiri karena statusku sebagai “single” kembali setelah kehancuran rumah tangga, aku melakukan hijrah yang sangat signifikan. Mulai dari berbusana muslimah dan berhijab, memulai kehidupan seorang muslimah yang kaffah sesuai tuntunan syariat antara lain, tidak berjabat tangan dengan laki-laki non muhrim, memperdalam ilmu agama dsb. Diantara point di atas yang agak sulit diterapkan adalah tidak berjabat tangan dengan laki-laki non muhrim. Bukan karena aku tidak sanggup, melainkan banyak sekali tantangannya, bahkan sangat sering aku dapati pandangan sinis, tatapan aneh bahkan komentar yang nyelekit disaat aku hanya membalas uluran tangan mereka untuk berjabat tangan dengan menangkupkan kedua tanganku di dada. Tapi hal ini wajib dan aku harus tegas.

Bagi setiap muslim atau muslimah wajib tunduk kepada ketetapan Islam, baik yang dirasa sesuai dengan kebiasaannya atau tidak. Karena inti dari makna Islam adalah tunduk, patuh dan menyerah kepada katetapan Allah Ta'ala. Sehingga Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Tidak beriman salah seorang kalian sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa."

Dalam hubungan pergaulan laki-laki dan perempuan, Islam telah memiliki satu aturan yang menjadi bagian dari syariatnya. Setiap muslim wajib tunduk dan patuh terhadapnya. Ia wajib menerima dan menjalankannya.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka[1045] ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Mukminun: 51)

Pada dasarnya, berjabat tangan adalah sesuatu yang baik dan bagian dari kesopanan. Bahkan orang yang tidak mau berjabat tangan ketika bertemu atau hadir di suatu pertemuan, biasanya, dianggap sebagai orang sombong dan kurang beradab.

Menurut Imam An-Nawawi, berjabat tangan (salaman) telah disepakati sebagai bagian dari sunnah ketika bertemu. Ibn Batthal juga menjelaskan, “Hukum asal jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut umumnya ulama.” (Syarh Shahih Al-Bukhari Ibn Batthal, 71/50).

Dalam beberapa riwayat, jabat tangan juga diamalkan para sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Imam Qatadah bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah jabat tangan itu dilakukan diantara para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam?” Anas menjawab: “Ya.” (HR. Al-Bukhari, 5908)

Berjabat tangan dengan sesama saudara seiman memiliki banyak keutamaan, antara lain:

1. Orang yang berjabat tangan akan diampuni dosanya.
Dari Hudzifah bin Al-Yaman, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan mukmin yang lain, kemudian dia memberi salam dan menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan saling berguguran sebagaimana daun-daun pohon berguguran.” (Diriwayatkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 525).

2. Berjabat tangan bisa menjadi sebab hilangkannya kebencian dalam hati.

3. Berjabat tangan merupakan ciri orang-orang yang hatinya lembut.
Ketika penduduk Yaman datang, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Penduduk Yaman telah datang, mereka adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada kalian.” Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkomentar tentang sifat mereka: “Mereka adalah orang yang pertama kali mengajak untuk berjabat tangan.” (HR. Ahmad 3/212 & dishahihkan Syaikh Al Albani, As Shahihah, 527).

Namun, perlu diperhatikan bahwa penjelasan di atas berlaku untuk jabat tangan yang dilakukan antara sesama laki-laki atau sesama wanita. Sedangkan berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita yang bukan mahram hukumnya adalah haram. Berikut ini kami sertakan beberapa dalilnya:

1. Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menegaskan :

إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبَهُ مِنَ الزَّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زَنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذَنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi setiap anak Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zananya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan berangan-angan dan hal tersebut dibenarkan oleh kemaluan atau didustakan.”

Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (8/457) mengatakan: “Bahwa setiap anak Adam ditakdirkan untuk melakukan perbuatan zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina sesungguhnya, yaitu memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan. Di antara mereka ada yang zinanya tidak sungguhan, dengan melihat hal-hal yang haram, atau mendengarkan sesuatu yang mengarahkan pada perzinaan dan usaha-usaha untuk mewujudkan zina, atau dengan bersentuhan tangan, atau menyentuh wanita asing dengan tangannya, atau menciumnya…”

2. Hadits Ma’qil bin Yasar Radhyiallahu ‘Anhu :

لَأَنْ يُطْعَنُ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ar-Ruyani dalam Musnad-nya no.1282, Ath-Thabrani 20/no. 486-487 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 4544 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226).

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram adalah dosa besar (Nashihati lin-Nisa' hal.123)

Berkata Asy-Syinqithy dalam Adwa` Al-Bayan (6/603): “Tidak ada keraguan bahwa fitnah yang ditimbulkan akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat dibanding fitnah memandang”.

Berkata Abu ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al-Makky Al-Haitami (Az-Zawajir 2/4) bahwa: “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan selain mahram adalah termasuk dosa besar”.

3. Hadits Amimah bintu Raqiqoh Radhiyallahu ‘Anha, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita.” (HR. Malik 1775, Ahmad 6/357, Ibnu Majah 2874, An-Nasa'i 7/149, dan lainnya)

Hadits ini dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bari 12/204, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 529 dan Syeikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fii Ash-Shahihain).

Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid (12/243): "Dalam sabda beliau 'aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita' ada dalil tentang tidak bolehnya seorang lelaki bersentuhan dengan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya-pent.) dan menyentuh tangannya dan berjabat tangan dengannya.”

4. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu 'Anha dalam riwayat Shahihain, beliau berkata:

وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ فِي الْمُبَايَعَةِ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ

“Demi Allah tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyentuh tangan wanita dalam berbai’at, beliau hanya membai’at mereka dengan ucapan".

Berkata Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (13/16): “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan”.

Berkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (4/60): “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita dengan ucapan tanpa dengan menyentuh tangan.”

Jadi bai’at terhadap wanita dilakukan dengan ucapan dan tidak dengan menyentuh tangan. Adapun asal dalam berbai’at adalah dengan cara menyentuh tangan sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membai’at para shahabatnya dengan cara menyentuh tangan mereka. Hal ini menunjukkan haramnya menyentuh/berjabat tangan kepada selain mahram dalam berbai’at, apalagi bila hal itu dilakukan bukan dengan alasan bai’at tentu dosanya lebih besar lagi.

Secara ringkasnya, menyentuh wanita bukan mahram, bersalaman, menepuk bahu, jentik telinga, apa lagi memegang, memeluk dan sebagainya, itu merupakan perbuatan yang haram. Termasuk kita bersalaman dengan pemimpin atau orang bawahan, rakyat bersalaman dengan pemimpin, pemimpin bersalam dengan rakyat.

Perkara ini bukan jumud dan ini bukan ekstrim, tetapi ini adalah prinsip Islam. Sebagai orang muslim kita harus tegas melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Kadangkala kita berlaku salah faham karena kita tidak mendidik anak-anak kita atau sistem pendidikan kita dengan ilmu agama yang cukup mantap. Kita bukan mengatakan sistem pendidikan tidak betul, tetapi masih ada kekurangannya dan itu harus terus diperbaiki.

Jadi perkara tidak boleh berjabat antara lelaki dan perempuan bukan mahram adalah keseluruhan, tidak memandang itu sepupu, atau laki-laki yang sudah tinggal bersama sejak kecil sehingga kita sudah menganggapnya seperti adik beradik, adik ipar atau sebagainya.

KESIMPULAN
1. Berikan dan sampaikan salam, jawab salam, bersalamanlah di antara yang halal bukan yang haram.
2. Sesungguhnya bersalaman lelaki dengan perempuan yang bukan mahram itu tetap ‘haram’. Ingat mengingatkan adalah suatu kewajiban kita sesama Islam, sesungguhnya semua umat Islam adalah saudara kita.



Note :
Dirangkum dari berbagai sumber

Wednesday, November 2, 2016

SUAMI TIDAK MENAFKAHI KELUARGA

Seperti biasa pagi minggu aku selalu nongkrong di depan pagar rumah karena harus belanja sayur di penjual sayuran keliling komplek langganan aku. Tidak ngariung seperti cerita-cerita sinetron itu loh. Cuma aku sendiri yang belanja karena tetangga kiri-kanan ibu rumah tangga sejati jadi bisa beli tiap hari, lagipula penjual sayur langgananku ini nampaknya tidak banyak pelanggannya karena memang harganya agak lebih tinggi. Aku suka ke penjual ini karena sayurannya bagus dan bisa order apa saja untuk dibawakan minggu depannya (karena aku belanja seminggu sekali)

Sambil membersihkan ikan dan ayam yang telah kupilih, kami berbincang iseng. Dinulai dari “bibik” (begitulah panggilan di daerah kami untuk para penjual) mengajak bicara menanyakan anakku dan sebagainya. Sampai akhirnya aku balik bertanya berapa jumlah anaknya. Dia menjawab 2 orang lantas dia meneruskan ceritanya bahwa dia harus bekerja untuk menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya. Balik aku bertanya kemana suami bibik. Di dusun. Secara aku gitu loh, menyusul pertanyaan-pertanyaan berikutnya.

Akhirnya si “bibik” curhat, bahwa dari ibu bapaknya dia memang sudah miskin, untuk meneruskan seklolah ke SMA saja bapaknya tidak mampu. Maka tamat SMP akhirnya dia menikah. Tidak beruntungnya sang suami adalah seorang yang pemalas. Cuma “hardolin” (makan, minum, tidur dan main gaple, ini memang jadi kebiasaan lelaki di dusun alias di kampung). Belum lagi suaminya suka memukul isteri sampai memar jika ia minta uang tidak diberi. Akhirnya karena tidak tahan si bibik minggat ke Palembang bersama 2 orang anaknya. Itulah sejarah awalnya dia berjualan sayur keliling untuk menghidupi diri dan anak-anaknya. Suaminya tidak pernah mencari mereka ataupun mengirim uang. Mereka tidak pernah bercerai dengan alasan si bibik tidak punya uang dan tidak mengerti bagaimana mengurus proses perceraian di pengadilan agama. Kasiannnn.... Aku bilang, “harus diurus loh bik, karena rugi di bibik sendiri, misal mau menikah lagi kan tidak bisa karena status bibik belum jelas, meskipun bibik sudah berpisah dan tidak saling bertemu selama 4 tahun lebih”. Mendengar omonganku si bibik langsung menjawab, “ahhhhhh....aku tak mungkin dan tak mau nikah lagi. Trauma...!.

Di dalam hati aku bertasbih, sebenarnya kisah kita tidak jauh berbeda bik, bedanya hanyalah aku punya pekerjaan yang baik. Hmmmmm... banyak sih cerita yang beginian yang sempat aku dengar, bahkan banyak teman-temanku yang suami-suaminya tidak menafkahi keluarga mereka. Beruntungnya mereka masih bertahan dalam rumah tangganya karena masih ada sisi baik suami mereka, seperti sayang isteri dan mau mengalah. Sepertinya hal ini menjadi trend belakangan ini, lelaki mencari istri wanita yang tajir.

Aku jadi mengkilas balik perjalanan rumah tanggaku masa silam. Yang begitu rusuh dan menyakitkan. Seorang suami yang di hari pertama setelah pernikahan mengadili aku untuk memaksa aku menyerahkan buku tabunganku (bahkan sebelum pernikahanpun telah memeras habis isi tabunganku). Dia sangat murka ketika melihat saldo di tabunganku hanya 2 juta rupiah. Itupun uang didapat dari adik kandungku sebagai hadiah pernikahan. Lantas kembali dia memaksa aku meyerahkan seluruh perhiasan emas yang kumiliki (terutama kalung panjang yang kupakai saat ijab kabul, padahal kalung dan liontin emas itu milik ibu) Bukankah seluruh tabungan dan perhiasan emasku sudah dijarah habis oleh dia sendiri saat kehabisan uang ketika bangun rumahnya?

Belum bisa aku lupakan saat dia melemparkan buku tabungan itu ke mukaku sambil meludahi mukaku seraya berteriak “Cuma 2 juta????? Nyesel aku kawin dengan perempuan miskin yang hanya bawa n.n.k seperti kamu”. Aku menunduk dan menangis dalam hati. Bayangkanlah itu di hari Senin sehari setelah pernikahanku hari Minggu kemaren. Dan selama 6 tahun pernikahan dia sama sekali tidak pernah memberikan uang belanja dan apapun. Belum cukup sampai disitu dia bahkan tidak punya rasa malu meminta uang insentif dan bonus agar diserahkan padanya. Aku ikuti maunya, karena bila tidak dia akan mencaci maki aku. Aku tunduk dan diam...atas perbuatan ini.

Pada tahun ke-6 perkawinan terjadi keributan besar diantara kami dan terpaksa bapak kandungku menengahi. Aku mengungkapkan apa penyebab pertengkaran itu. Dia yang selalu mencurigai aku mengenai keuangan padahal selama pernikahan dia sama sekali tidak pernah memberi uang sepeserpun. Bapakku menengahi dan menasihati dia, bahwa nafkah itu tanggung jawab suami. Setelah peristiwa itu dia memberikan uang sekadarnya saja (aku sudah sangat bersyukur dengan perubahan ini), meskipun dengan pemberian uangnya ini penderitaanku semakin bertambah. Dengan uang sebesar 1 juta perbulan (gajinya hampir 8 jutaan) dia semakin semena-mena. Dia menganggap bahwa dengan uang sebesar itu dia telah berperan sangat besar, dan seluruh kebutuhan keluarga harus terpenuhi. Padahal untuk uang terapi autis Nabila perbulan saja 750 ribu dan ongkos antar jemput terapi sebesar 450 ribu.

Disaat dia butuh uang untuk bezuk temannya sakit, untuk beli rokok semua harus tersedia, bahkan kadang tanpa rasa malu dia tega mengambil sekotak besar (se pack) rokok untuk dimasukkan dalam nota belanjaku saat belanja bulanan. Aku tidak pernah komplain sedikitpun dengan keadaan ini. Selagi uang gajiku masih ada ayo aja dipakai buat kebutuhan rumah tangga ini (Lebih sering hanya karena tidak mau ribut jika uangku habis aku meminjam pada mamaku). Dalam 6 tahun 6 bulan masa pernikahan inilah yang aku perjuangkan supaya damai, supaya tidak ribut-ribut. Dan pada akhirnya kami bercerai yang menjadi sebab utamanya bukanlah karena masalah uang melainkan kekejaman dan kedzalimannya terhadap aku.

Berkaca dari kejadian-kejadian ini aku berusaha mencari tentang kewajiban suami menafkahi keluarga dipandang secara tuntunan agama Islam. Inilah yang aku dapatkan :

Sesungguhnya rasa kasih-sayang di antara suami-isteri hampir-hampir tidak ditemui bandingannya. Dua jenis manusia, pada mulanya tidak saling mengenal, kemudian Allah mempertemukan keduanya, sehingga terjalin hubungan yang melebihi seorang saudara dengan saudaranya, seorang kawan dengan kawannya. Maka ini termasuk salah satu tanda kekuasaan Allah yang mengagumkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah, Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar Ruum / 30:21)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Bani Adam (manusia) semuanya laki-laki, dan menjadikan wanita-wanita (isteri-isteri) mereka dari jenis selain mereka, mungkin dari jin atau binatang, maka tidak akan terjadi persatuan antara mereka dengan isteri-isteri mereka. Bahkan pasti akan terjadi keengganan, seandainya isteri-isteri itu bukan dari jenisnya. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat Allah terhadap Bani Adam, bahwa Dia menciptakan isteri-isteri mereka dari jenis mereka sendiri, dan menjadikan di antara mereka rasa kasih, yaitu kecintaan, dan rahmat, yaitu sayang. Karena seorang laki-laki menahan isterinya, kemungkinan kecintaannya kepada isterinya, atau karena sayangnya, karena dia telah memiliki anak darinya, atau karena dia membutuhkan nafkah darinya, atau karena keakraban antara keduanya, atau lainnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.

Oleh karena itulah, kasih-sayang yang telah tumbuh di antara pasangan suami-isteri itu, selayaknya dijaga dan dikembangkan, sehingga tidak layu dan akhirnya sirna. Dari sini kita mengetahui keagungan syari’at Allah Azza wa Jalla yang menerangkan hak dan kewajiban suami-isteri.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Al Baqarah / 2:228)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yaitu, mereka (para isteri) memiliki hak yang menjadi kewajiban para laki-laki (suami), maka hendaklah setiap satu dari keduanya menunaikan kewajibannya kepada yang lain dengan baik”.

Di antara hak terbesar wanita yang menjadi kewajiban suaminya adalah nafkah. Nafkah, secara bahasa adalah, harta atau semacamnya yang diinfaqkan (dibelanjakan) oleh seseorang. Adapun secara istilah, nafkah adalah, apa yang diwajibkan atas suami untuk isterinya dan anak-anaknya, yang berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan, dan semacamnya.

Nafkah bagi isteri ini hukumnya wajib berdasarkan al Kitab, as Sunnah, dan Ijma’.

Disebutkan dalam al Qur`an :

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” (Al Baqarah / 2:233)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, : “Dan kewajiban ayah si anak memberi nafkah (makan) dan pakaian kepada para ibu (si anak) dengan ma’ruf (baik), yaitu dengan kebiasaan yang telah berlaku pada semisal para ibu, dengan tanpa israf (berlebihan) dan tanpa bakhil (menyempitkan), sesuai dengan kemampuannya di dalam kemudahannya, pertengahannya, dan kesempitannya”

Sebenarnya Islam memandang nafkah untuk istri ini seperti apa? Jika para suami menelaah satu saja ayat Al Qur’an tentu ia akan memahami fungsinya sebagai kepala rumah tangga. “Wajib bagi setiap suami untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada istri, dengan sepantasnya.” (Q.S. Al-Baqarah:233)

Wajib disini mengandung pengertian sederhana namun tegas, jika tak ada yang lebih pantas menafkahi istri dan anak-anaknya, memberikan pakaian, perumahan, mencukupinya makan dan beberapa kebutuhan pokok lainnya, melainkan semuanya dalam tanggungan suaminya. Jika suami dalam keadaaan kurang mampu menanggungnya, maka jika istri bekerja untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarganya, maka itu terhitung sebagai sedekah untuk keluarga, bukan sebagai ‘pemberi pokok’, kecuali jika suami sakit keras atau tidak ketahuan di mana keberadaannya, atau dalam keadaan darurat lainnya, seperti karena suatu hal harus mendekam di penjara.

1.Suami wajib memberikan nafkah kepada istri, baik lahir maupun batin. Melalaikan hal ini berarti perbuatan zalim, mengingkari ayat-ayat Allah. Jika seorang suami tetap mengabaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada keluarganya sehingga si istri harus menafkahi sendiri kebutuhan diri dan keluarganya dengan hartanya maka biaya yang dikeluarkannya selama itu menjadi utang yang harus dibayar oleh suaminya. Suami tetap diwajibkan membayar utang tersebut walaupun hal itu terjadi selama bertahun-tahun lamanya selama si istri belum merelakannya.

2.Seorang suami yang mampu bekerja dengan baik dan menghasilkan uang yang sangat cukup, maka ia wajib memberikan nafkah secara layak kepada istri dan keluarga. Sedang suami yang tidak memberikan nafkah kepada istri dengan tidak layak padahal ia bisa memberikannya, maka suami telah melakukan perbuatan zalim kepada istrinya. Dan tentulah zalim itu adalah perbuatan dosa.

3.Jika suami bakhil, pelit terhadap istrinya dan tidak memberikan nafkah tersebut secara layak, padahal ia mampu memberikannya, dan suami hanya menumpuk harta dan kekayaannya untuk kepentingannya sendiri dan melalaikan kepentingan pokok istri dan keluarganya, maka hal tersebut sangat menjadi perhatian Rasulullah:

Dari ‘Aisyah bahwa Hindun binti ‘Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku, Pen) seorang laki-laki yang bakhil. Dia tidak memberi (nafkah) kepadaku yang mencukupi aku dan anakku, kecuali yang aku ambil darinya sedangkan dia tidak tahu”. Maka beliau bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan patut.”(HR Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714) Hadits tersebut mengisyaratkan, sebenarnya ada bagian dari istri untuk harta suami untuk nafkahnya juga kehidupan keluarga dan jumlahnya pun sewajarnya. Istri bahkan boleh mengambil harta suami tanpa izin, sesuai dengan kebutuhannya.

4.Jika Suami tidak bisa memberikan harta karena dalam kesusahan atau kemiskinan, maka istri dianjurkan untuk ridha sekaligus bersabar dengan itu, dan sebaiknya istri membantu untuk mencari nafkah keluarga.

5.Istri yang bekerja dan mempunyai penghasilan, jika ia memberikan penghasilannya untuk membantu keperluan keluarga, maka itu hanya sebagai sedekah saja, dan itu tetap menjadi penghasilan dan harta istri, tak ada kewajiban (sebenarnya) dalam membantu keluarga dengan uang atau harta tersebut, hingga suami sebenarnya sama sekali tidak boleh menguasai harta atau mengambil harta istrinya tanpa izin istrinya.

Hal ini diperkuat dengan dalilnya: hadis dari Abu Said Al-Khudri, bahwa suatu ketika, Zainab (istri Ibnu Mas’ud) hendak membayar zakat perhiasan yang dia miliki. Kemudian beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bolehkah istri memberikan zakatnya kepada suaminya dan anak yatim dalam asuhannya?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ya, silakan. Dia mendapat dua pahala: pahala menjaga hubungan kekerabatan dan pahala bersedekah.” (HR. Bukhari 1466)

Dalam hal ini tersirat jika kondisi diatas menandakan jika istri Ibnu Mas’ud sangat kaya raya, dan suaminya adalah orang miskin. Ini menunjukkan jika Ibnu Mas’ud sama sekali tidak menguasai harta istrinya, meski dia adalah seorang yang miskin. Dan Istrinya juga memiliki dedikasi baik, terbukti untuk memberikan sebagian hartanya sebagai zakat maal untuk suaminya itu. Jadi sangat jelas kewajiban nafkah itu sebenarnya ada di pundak suami.

Kebutuhan nafkah itu memang kewajiban suami, melalaikan kewajiban itu adalah sesuatu yang zalim. Jika istri bekerja, itu memang melakukan tugas untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga atau untuk menerapkan ilmunya dan membantu sesamanya.

Penghasilan istri adalah mutlak milik istrinya. Jika ia membagi penghasilan itu untuk keluarga, itu sebagai sedekah baik untuknya, suami dilarang mengotak-atik harta istri tanpa ridhanya, bahkan sebaliknya istri tak perlu membutuhkan ridha suami saat suami melalaikan nafkah keluarga dan istri saat ia berpunya, atau mampu menafkahi dengan layak, dengan catatan harus dengan ma’ruf, mengambil sesuai dengan kebutuhan.

Segeralah bertobatlah suami-istri apabila keduanya sudah berbuat tidak ma’ruf dalam kehidupan rumah tangga dalam masalah nafkah, karena itu kezaliman yang amat dekat dengan neraka.

فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

Artinya : ”Menggenggam (istri) dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqoroh : 229)

Pada ayat diatas Allah memberikan dua pilihan kepada seorang suami antara menggenggam dengan cara yang ma’ruf yaitu memberikan nafkah kepadanya atau menceraikannya dengan cara yang baik pula jika dirinya tidak bisa memberikan nafkah kepadanya.

Adapun dalil-dalil dari as Sunnah, antara lain:

عَنْ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ

“Dari Mu’awiyah al Qusyairi Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang dari kami yang menjadi kewajiban suaminya?” Beliau menjawab,”Engkau memberi makan kepadanya, jika engkau makan. Engkau memberi pakaian kepadanya, jika engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul wajahnya, janganlah engkau memburukkannya, dan janganlah engkau meninggalkannya kecuali di dalam rumah”. (HR Abu Dawud, no. 2142; Ibnu Majah, no. 1850; Syaikh al Albani mengatakan: “Hasan shahih”).

Pada saat haji wada’ , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah:

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف

“Bertakwalah kamu kepada Allah tentang para wanita (isteri), karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan kamu telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah [6]. Dan kamu memiliki hak yang menjadi kewajiban mereka (para isteri), yaitu mereka tidak memperbolehkan seorangpun yang tidak kamu sukai menginjakkan permadani-permadani kamu [7]. Jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Dan mereka memiliki hak yang menjadi kewajiban kamu, yaitu (kamu wajib memberi) rizki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik)”. (HR Muslim, no. 1218)

Islam menganggap dosa besar bagi seorang suami yang mengabaikan kewajiban ini, sebagaimana disebutkan didalam riwayat Abu Daud dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata; Rasulullah saw bersabda: "Cukuplah dosa bagi seseorang dengan ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya." Didalam sabdanya saw yang lain yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan : "Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa orang-orang yang menahan makan (upah dan sebagainya) orang yang menjadi tanggungannya."

Sungguh benar Allah dengan segala tuntunan dan firmanNya, ya Allah Engkau pasti telah mencatat segala kebenaran yang berlaku bagiku selama 6 tahun 6 bulan masa pernikahanku, meskipun sampai saat ini semua diputar balikkan. Astagfirullahal adziim....



Wednesday, October 12, 2016

RESEPSI PERNIKAHAN ISLAMI


Gagasan untuk menulis artikel ini bermula ketika aku menghadiri suatu resepsi pernikahan minggu lalu. Sejak awal memasuki gedung resepsi hatiku sudah mulai miris, melihat lay out penyusunan ruangan. Kulihat kursi untuk tamu sedikit sekali, rupanya resepsi tersebut memakai konsep “semi standing party”, jadi siapa tamu yang datang di awal waktu akan dapat jatah kursi seadanya dan sisanya silahkan berdiri.

Bisa dibayangkan betapa “tersiksa”nya para tamu yang harus berdiri di tengah hari terik seperti itu. Prosesi resepsi itu sendiri lumayan lama karena begitu banyak agenda acara yang harus digelar, mulai dari tari-tarian, nyanyi-nyanyian, acara kecil reunian teman orang tua mempelai, pidato dan sebagainya. Aku memang datang di awal waktu jadi alhamdulillah masih dapat jatah kursi dibagian samping luar gedung, sementara kulihat banyak sekali termasuk tamu yang berusia setengah baya yang harus berdiri. Astaghfirullah.... gumamku!

Tibalah giliran makan, antrian panjang yang semrawut dengan para tamu yang berebut ingin duluan harus menguras kesabaran sedikit extra (perilaku tamu yang seperti kalap begitu mungkin karena sudah kelelahan harus berdiri cukup lama selama prosesi acara jadi lapar berat haha.....). Akhirnya sampai juga giliran aku dan kakak perempuanku serta suaminya mengambil jatah makanan. Tetapi setelahnya kami kebingungan bagaimana cara makannya karena kami tidak dapat tempat duduk.Sebagian tamu kulihat makan sambil berdiri. Aku tidak biasa dan tidak bisa makan sambil berdiri dan selain itu dalam tuntunan agam Islam yang aku dapatkan bahwa memang makan sambil berdiri itu tidak disunatkan. Kakak iparku menuju luar gedung duduk dipinggiran taman dengan cuaca terik sekali. Sementara aku dan kakak perempuanku nanar menatap sekeliling mencari kalau ada kursi kosong. Akhirnya ada sepasang tamu suami isteri yang buru-nuru menyelesaikan makannya dan mempersilahkan kami duduk, mungkin kasihan melihat kami. (Hmmmm....).

Episode dramatisasi resepsi pernikahan ini ternyata belum cukup sampai disitu, disaat pulang dan ingin bersalamanpun penuh dengan tragedinya sendiri. Antrian yang begitu panjang untuk bersalaman. Sungguh perlu kesabaran yang lebih lagi. Antrian salaman yang lama dan panjang itupun masih harus lebih bersabar lagi karena antrian itu harus di stop diselingi berbagai prosesi lagi, misalnya foto-foto berbagai tamu baik itu rekan mempelai, rekan orang tua yang ketika bersalaman diajak foto oleh mempelai dan keluarganya (sedangkan prosesi foto wajib bersama tamu kehormatan sudah dilakukan tadi sebelum acara inti dinyatakan usai dan para tamu dipersilahkan santap siang atau bersalaman). Pas hampir tiba giliran kami untuk naik ke panggung untuk bersalaman tiba-tiba panitia WO memutus antrian karena ada prosesi lempar buket bunga yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Dimana harus mengumpulkan dulu para lajang untuk kumpul di depan panggung, lalu mensetting posisi mempelai, lalu mempelai beberapakali bercanda dengan mengelabui para lajang yang menanti pelemparan, lalu lajang yang mendapatkan bunga harus tampil kemuka menerima doorprize berupa handphone, lalu pemenang tersebut foto bersama mempelai. Astaghfirullah...!

Aku yang saat itu sudah sebagian kakiku ditangga panggung kebetulan berdiri di dekat salah seorang panitia WO, sekedar iseng bertanya “Kenapa acara lempar bunga itu tidak dilakukan tadi saja saat para tamu belum dipersilahkan bubar makan dan bersalaman, atau sekalian nanti saja selesai acara. Kasihan sekali tamu-tamu yang sudah tua-tua (kami merasakan kok ibu-ibu yang sudah sangat tua dibelakang kami sampai harus bersandar ke tubuh kakakku karena kelelahan antri). Tanpa aku duga pertanyaan yang aku sampaikan dengan ramah tamah tersebut dijawab dengan sangat kasar oleh panitia. “Kami cuma panitia bu, kami juga punya orang tua bahkan ibu bapak saya sudah mati. Saya yatim piatu. Tapi tak harus seperti itu juga bu tamu teraniaya...bla...bla...bla”.

Astaghfirullah....aku kaget panitia laki-laki itu ngoceh dan berteriak-teriak. Kudiamkan saja. Sungguh dia mungkin belum paham arti kata menganiaya itu. Bahwa ketika seorang manusia merasakan tersiksa/jengkel karena perbuatan seseorang lain meski dia tidak mengeluh ataupun mengeluh alias ngedumel dalam hati maka telah menambahkan dosa untuk dirinya sendiri yang telah mengakibatkan perasaan itu muncul. Hmmmm....

Mungkin pihak keluarga yang mengundang itu sangat bangga dengan resepsi pernikahan yang mereka selenggarakan karena terlihat modern, tamu yang membludak dan para lajang rekan-rekan mempelai hadir dengan busana modis setengah telanjang, tetapi tanpa mereka sadari resepsi mereka telah menghadirkan demikian banyak mudaharat termasuk perasaan dan keluhan para tamunya. Pagi ini aku segera browsing tentang bagaimana tataca cara resepsi pernikahan yang Islami. Berikut rangkuman yang aku dapatkan dari berbagai sumber tersebut :

Rasulullah SAW memaknakan dalam haditsnya, menikah adalah menyempurnakan setengah dari agamanya. Ungkapan ini menegaskan betapa pernikahan menduduki posisi yang mulia dalam Islam. Ia bukan sekadar lembaga untuk menghalalkan “aktivitas ranjang”. Namun lebih dari itu. Menikah merupakan babak baru dari seorang individu muslim menjadi sebentuk keluarga di mana ia akan menegakkan syariat agama ini bukan hanya untuk dirinya sendiri namun juga terhadap pasangan hidupnya, anak-anaknya, dan sebagainya.

Nilai kemuliaan atau kesakralan pernikahan dalam Islam juga tecermin dari “prosesi” pendahuluan yang juga beradab. Islam hanya mengenal proses ta’aruf. Bukan praktik iseng atau coba-coba layaknya pacaran, namun dilandasi niatan yang tulus untuk berumah tangga sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT yang diringi dengan kesiapan untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan dari pasangan hidupnya. Bukan niatan-niatan duniawi seperti mengejar materi, menutup aib, mengubur rasa malu, atau sekadar pelarian dari “patah hati”.

Islam juga mengatur proses walimah atau resepsi pernikahan yang menonjolkan nuansa kesederhanaan dengan diliputi tuntunan syariat. Bukan mengukuhi adat, tidak pula kental dengan tradisi Barat. Walimah dalam Islam, bukanlah hajatan yang sarat gengsi sehingga menuntut sahibul hajat untuk menyelenggarakan di luar kemampuannya.

Walimah nikah juga tidaklah dimaknai sebagai acara jual beli yang memperhitungkan untung rugi atau minimalnya “balik modal”, sebagaimana hal ini tecermin dalam budaya amplop. Sehingga yang diundang tidak dibedakan antara yang “beramplop tebal”, “tipis”, atau bahkan yang “tidak beramplop sama sekali”. Alhasil, tidak berlaku kaidah “yang penting bukan orangnya yang datang (untuk mendoakan), namun amplopnya.” Bahkan sebagaimana disitir dalam hadits, Rasulullah menyebut makanan dari walimatul ‘urs yang hanya mengundang orang-orang kaya sebagai sejelek-jelek makanan.

Lebih-lebih jika itu semua dibumbui acara-acara yang tidak memiliki makna secara Islam seperti (dalam adat Jawa) siraman, ngerik, midodareni, jual dawet, panggih, balang suruh, nginjak telur, dan sebagainya. Atau yang sok kebarat-baratan (baca: latah) dengan standing party (pesta berdiri), tukar cincin, lempar bunga, berciuman di depan tamu undangan, dansa, atau yang sekadar menyuguhkan “hiburan” berupa musik (organ tunggal).

Menghindari terjadinya ikhtilath (percampuran) antara para undangan laki-laki dan perempuan dalam satu majlis, termasuk dalam hal ini menyandingkan pengantin pria dan wanita di pelaminan yang disaksikan oleh seluruh undangan yang hadir sementara diantara mereka ada yang shaleh, fasik atau mungkin kafir.

Biasanya setelah disandingkan maka para undangan baik laki-laki dan perempuan berbaris memberikan ucapan kepada kedua mempelai secara bergantian yang memungkinkan terjadi persentuhan kulit atau pandangan kepada yang bukan mahramnya dan tak disangsikan lagi hal ini bisa mengundang fitnah.

Jika pada acara itu para undangan diberikan kesempatan untuk memberian ucapan selamat hendaklah para undangan pria hanya memberikan ucapan selamat kepada pengantin pria saja begitu juga dengan para undangan wanita cukup memberikan ucapan selamat kepada pengantian wanita saja sehingga tidak terjadi ikhtilat diantara mereka. Termasuk ikhtilath adalah pengambilan foto atau gambar kedua mempelai dengan para undangan yang hadir baik dengan menggunakan kamera maupun video.
Firman Allah swt :


قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ


Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.” (QS. An Nur : 30 – 31)

Tidak menghadirkan lagu-lagu atau para penyanyi baik laki-laki maupun perempuan yang dapat melalaikan si pendengar dari dzikrullah atau dapat membangkitkan syahwat mereka. Hindari pula penggunaan alat-alat musik didalam walimah pernikahan ini kecuali duff (rebana).

Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa ia menyerahkan pengantin wanita kepada seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Wahai Aisyah, apakah tidak ada hiburan, sebab orang-orang Anshar senang akan hiburan?.”
Imam Bukhari meriwayatkan dari Khalid bin Dzakwan ia berkata; Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afran berkata; suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk saat aku membangun mahligai rumah tangga (menikah). Lalu beliau duduk di atas kasurku, sebagaimana posisi dudukmu dariku. Kemudian para budak-budak wanita pun memukul rebana dan mengenang keistimewaan-keistimewaan prajurit yang gugur pada saat perang Badar.”

Dibolehkan bagi anda menghadirkan nasyid-nasyid islamiyah (senandung-senandung islami) yang tidak menggunakan peralatan musik.

Markaz al Fatwa menyebutkan bahwa tidak mengapa mendengarkan nasyid-nasyid didalam beberapa kesempatan, diantaranya pada walimah pernikahan jika tidak mengandung musik dan suara-suara yang menyerupai musik (Markaz al Fatwa No. 19596).

“ Dan tiadalah kehidupan di dunia ini melainkan senda gurau dan main-main, Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan”.

Setiap langkah dan perbuatan kita harus selalu berpatokan Allah ridho atau tidak, sesuai syariat atau tidak. Bukan hanya mengejar prestise duniawi semata. Sudah berulangkali aku menghadiri resepsi pernikahan di gedung yang sama dengan konsep “semi standing party” termasuk didalamnya ada prosesi lempar buket bunga. Sepertinya cara-cara ini menjadi booming dan dianggap modern. Sadarilah wahai para penyelenggara yaitu WO dan tuan rumah, tetap ada hisab dari apa yang telah kalian lakukan diluar syariat dan tuntunan Islam.

Jangan sampai hanya karena ingin dianggap modern demi prestise keduniawian kita malah menyalahartikan makna walimah itu sendiri. Walimah artinya menjamu para tamu undangan. Kalau membuat tamu undangan merasa tidak nyaman karena seremonial yang tidak sesuai tuntunan syariat maka jelas sudah menyimpang dari hakikat dan tujuan yang sebenarnya, bukan tidak mungkin akan menjadikan dosa bagi si pemilik hajat. Audzubillah min dzalik..!

Palembang, 10 Oktober 2016


Tuesday, August 23, 2016

HAKIKAT HIJAB BAGI SEORANG MUSLIMAH


“ Lebarnya jilbabku bukan karena diriku lebih baik, tapi hanya ingin menjadi lebih baik. Panjangnya kerudungku bukan karena diriku wanita suci tak bernoda, tapi tak ingin membuat liar pandangan para pria. Tertutup rapatnya semua auratku bukan berarti diriku mulus tanpa dosa, aku hanya ingin menutup satu pintu dosa yang biasa dilakukan oleh wanita, serta berusaha mentaati salah satu perintahNYA” 

Kutipan kalimat-kalimat tersebut diatas selalu menjadi caption menarik bagiku untuk menjabarkan secara simpel tentang kenapa aku berpenampilan seperti sekarang ini. Tidak mudah mempertahankan untuk tampil syar’i di era peradaban yang sedemikian global dan modern. Tatapan aneh, serta komentar agak nyeleneh sering kudapatkan. Teman-teman kantor juga tak urung berkomentar yang justru aneh menurutku. “Ah...saya sih masih muda, masih pengen ngegaya dulu. Nanti ajalah pake jilbab panjang kayak emak-emak gitu”. Dilain kesempatan adalagi yang beralasan ribet, karena orang lapangan jilbab syar’i sangat mengganggu. Tak sedikit pula yang mengatakan jilbabku seperti taplak meja, seprei saking lebarnya. Tapi kalau aku lagi membentang jilbabku untuk dilipat sedikit sebelum memakainya aku tersenyum sendiri, karena teman-temanku gak salah kok ternyata jilbabku memang selebar ranjangnya Ardi anakku. Seperti seprei atau bed cover ahaaaaa....


Yah...hidup ini pilihan, kita akan bertanggung jawab dengan pilihan kita masing-masing. Memang telah tertulis dalam Al-Qur’an bahwa akan datang suatu masa dimana kebenaran dianggap aneh , sedangkan kemaksiatan dianggap sesuatu yang lazim dan benar. Dan itu adalah tanda-tanda akhir zaman.

Tujuan menutup aurat secara syar’i sungguh sesuatu yang sangat besar kebaikannya bagi muslimah. Melindungi muslimah agar tidak diganggu. Tetapi inilah kemajuan peradaban. Trend busana muslimah yang begitu pesat dengan model dan gayanya yang sangat menarik sering membuat falsafah berhijab sendiri menjadi bergeser.

Allah Jalla wa ’Ala berfirman yang artinya:
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri istrimu, anak anak perempuanmu dan istri istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Ahzaab: 59).

Aku ingat betapa aku tak henti-hentinya beristighfar didalam hati (karena ku tidak mau menilai, tidak mau berkomentar. Takut dikatakan sok suci, sok hebat bla...bla..bla..). Saat itu peringatan HUT Kemerdekaan RI yang ke-71. Ada perayaan yang diadakan oleh persatuan warga komplek tempat tinggalku. Jadi bercampur baurlah seluruh warga komplek dalam acara jalan sehat yang dilanjutkan senam pagi bersama dan diakhiri hiruk pikuk suara musik dangdut.

Sudah menjadi kebiasaan di suatu kompleks perumahan dikalangan kaum ibu-ibu selalu saja terjadi persaingan untuk tampil paling keren. Duh...ketika bercampur baur dengan segala macam makhluk laki-laki, tua muda hampir keseluruhan ibu-ibu tampil dengan luar biasa. Ya Allah...inikah yang dikatakan modern? Inikah yang dikatakan trendy? Pakaian kaos ketat, celana ketat dengan jilbab yang diputar balik kesana sini.... sedangkan dada menjadi tampak dengan sizenya luar biasa. Mereka sama sekali tidak merasa risih dengan berpakaian seperti “lontong bocor” begitu tertawa-tawa, meliuk-liukkan badan diiringi musik dangdut. Astaghfirullah...maafkan aku ya Allah...aku bukan menghakimi, bukan memvonis melainkan aku menangis melihat kaumku. Lekuk tubuh yang bulat, sintal dan menyembul kesana sini itu menjadi pemandangan dan santapan kaum bapak-bapak yang ada disana. Masih belum sempurna lagi kesedihanku , mereka berselfi ria dan foto-fotonya di ekspos di group, mungkin juga di Instagram dan Facebook... yang menyebabkan aurat yang seharusnya tertutup itu akhirnya menjadi konsumsi publik. Hatiku menjerit ..kemana suami-suami mereka, kemana anak laki-laki mereka yang membiarkan istri atau ibu mereka tampil seperti itu. Astaghfirulah...subhanallah ...!

Lalu Bagaimana Cara Memakai Jilbab yang Baik dan Benar?

Jilbab yang baik adalah jilbab yang sesuai dengan tuntunan Islam, bukan sesuai dengan mode atau trend yang berlaku di masyarakat. Apa saja syarat-syarat cara memakai jilbab yang baik dan benar? Beberapa di antaranya :
1. Menutupi aurat
2. Jilbab lebar dan menutup dada
3. Jilbab longgar tidak menampakkan bentuk tubuh
4. Tidak tembus pandang
5. Tidak memakai riasan/make up tebal yang berlebihan

Kesalahan Dalam Cara Memakai Jilbab

Berdasarkan cara penggunaannya, jilbab tidak seperti kerudung gaul seperti fenomena yang terjadi di masyarakat. Kerudung yang digunakan haruslah syar’i dan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya, baik itu dala Al Qur’an ataupun hadits. Padahal, sekarang tidak sedikit orang yang berjilbab, tapi model dan riasannya kurang pas dalam mencerminkan penampilan muslimah yang baik sesuai syar’i, dan lebih mengutamakan mode dan style yang sedang booming di masyarakat seperti bagaimana para artis berjilbab.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Bahwa anak perempuan apabila telah cukup umurnya, maka mereka tidak boleh dilihat akan dia melainkan mukanya dan kedua telapak tangannya hingga pergelangan” (H.R. Abu Daud)”.

Dengan demikian, mari kita mencoba untuk berjilbab sesuai dengan ketentuan tuntunan agama kita, bukan hanya sekedar tuntutan mode dan gaya. Kesalahan-kesalahan teknis lainnya yang berkaitan dengan gaya dan model berbusana atau berjilbab yaitu: 

1. Kerudung tidak Menutupi Dada
Ini bertentangan dengan firman Allah SWT dalam Al-qur’an “.. dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya … ” (QS. An Nur : 31)

2. Rok Kurang Panjang (sehingga Tampak Menggantung)
Hal ini tidak sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tarmizi dan Nasa’i, dari Ummu Salamah r.a. “”Ya Rasulullah, bagaimana dengan perempuan dan kain-kain mereka yang sebelah bawah?” Sabda Rasulullah S.A.W : “Hendaklah mereka memanjangkan barang sejengkal dan janganlah menambahkan lagi keatasnya” 

3. Pakaian Ketat dan Menampakkan Bentuk Tubuh
Selain terlihat dan terasa sesak, ternyata pakaian yang ketat juga tidak baik untuk kesehatan. Sebuah penelitian membuktikan bahwa pakaian yang ketat menyebabkan kulit kekurangan ruang untuk bernafas. Akibat yang ditimbulkan dari mengenakan pakaian ketat – mulai dari yang teringan seperti biduran, adanya bercak ringan di bagian tubuh tertentu sampai dengan penyakit yang cukup berbahaya, seperti kemandulan dan kanker.

Para muslimah hanya beranggapan bahwa menutup aurat adalah menutupi tubuh dengan kain agar tidak terlihat secara langsung. Sehingga apa yang dipakainya masih membentuk tubuhnya yang mengundang syahwat kaum lelaki. Hal ini sama dengan wanita yang memakai baju selam. Apakah pakaian selam pantas dikatakan berhijab? Semua tubuhnya tertutup ketat kecuali wajah dan telapak tangan. Dada dan lekuk tubuh lainnya terbentuk dengan jelas. Inilah yang disebut dengan berpakaian dan telanjang sama saja.


4. Menggunakan Riasan Make-Up yang Tebal
Menggunakan riasan make-up bagi seorang perempuan tidaklah dilarang, tapi anjurannya adalah ‘jangan berlebihan’ karena segala sesuatu ynag berlebihan itu tidak baik dan Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. Jika sering menggunakan make-up terlalu tebal, maka kurang sehat untuk wajah karena kulit wajah tidak dapat bernafas dengan baik dan menyisakan residu yang berlebihan pada wajah sehingga jika tidak telaten dapat menyebabkan jerawat di wajah. Apalagi ada beberapa muslimah yang mungkin malas berwudhu atau hanya berwudhu sekedarnya saja dengan alasan menjaga riasan wajah agar tetap awet.

5. Tidak memakai kaos kaki, mengenakan blus yang pendek, memakai rok dengan belahan tinggi serta mengenakan kerudung yang terbuat dari bahan yang tipis/jarang.

6. Memakai celana panjang
Maksudnya adalah benar benar memakai celana panjang sebagai pakaian bawahnya. Sehingga belahan kakinya terbentuk. Namun jika memakai celana panjang kemudian dirangkap dengan gamisnya maka hal itu boleh dan lebih baik.

7. Cara membawa tas yang keliru.
 Muslimah yang sudah memakai jilbab dengan rapi kadang kurang memperhatikan cara membawa tas. Baik tas slempang (dibawa pakai bahu sebelah) atau tas jenis ransel (dibawa di punggung dengan dua slempang di dada). Selempang akan menekan bagian dada karena menahan beban tas sehingga dada akan terbentuk dan menonjol. Hal ini tidaklah patut bagi muslimah. Sebagai solusi, beralihlah dengan menggunakan tas jinjing. Repot sedikit tapi
selamat dari fitnah juga dari mata para saytan.

8. Berkerudung mini, berbaju lengan pendek dengan manset panjang

9. Tidak memakai manset. 
Manset yang terbuat dari kain kaos dan dikenakan di lengan tangan sangat bermanfaat. Ketika berada di busway atau bus kota dan tangan berada di besi tempat berpegangan, maka tanpa disadari lengan baju akan melorot dan lengan tangan akan terlihat. Sedangkan lengan tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Manset berguna menahan turunnya lengan baju karena bersifat kesat. Kalau pun lengan baju melorot ke bawah, maka lengan masih tertutup manset.

10. Berwudhu di tempat umum (terbuka) dan membuka jilbabnya. 
Dengan alasan cuma sebentar dan mendesak, maka aurat pun terbuka ketika berwudhu. Seharusnya mencari tempat wudhu khusus wanita yang tertutup atau berwudhu di dalam kamar mandi.

Memang untuk sampai ketingkat syar’i yang sempurna kita perlu tahapan-tahapan proses. Akupun melalui tahapan-tahapan tersebut. Dulu aku sama sekali tidak berhijab, sampai suatu ketika aku mulai mengenal tentang hijab, saat itu aku sangat sudah mantap ingin sekali berhijab, namun ditentang oleh suami. “Untuk apa pakai jilbab wajahmu gak pake jilbab saja jelek sekali apalagi pake jilbab, kampungan, ketinggalan zaman”. Sampai akhirnya setelah bercerai dengan suami, 1 minggu pasca perceraian aku langsung mengenakan jilbab.

Memang ada muslimah yang harus mematuhi orang tua atau suami walau busananya semakin jauh dari yang disyari’atkan. Bahkan ada yang menyuruh melepaskan jilbabnya. Bertaubatlah wahai para orang tua dan suami, karena Anda akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan taat kepada makhluk dalam menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala hukumnya haram.

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HSR. Ahmad).

Pertama kali berjilbab aku hanya mengenakan kerudung seadanya, bahkan ketika itu karena tuntutan pekerjaan sebagai orang pabrik jilbabku dimasukkan kedalam baju. Sehingga sesungguhnya aku hanya menutup kepala bukannya menutup aurat. Dan metamorfosa selanjutnya aku terbawa arus perkembangan mode busana muslim trendy ala ala hijaber. Kerudung/pasmina yang dililit, diputar kesana sini, tutorial mengenakan sawl/kerudung apapun aku bisa mengenakannya, bahkan dengan kreatifitasku aku bisa menciptakan tutorial mengenakan kerudung ala aku. Rekan-rekan banyak yang belajar dan menyukaiku. Aku sering memberikan demo di arisan RT, arisan karyawati atau perkumpulan ibu-ibu. Malah bergantian saja tetangga yang minta didandani jilbab pesta secara free olehku.

Bersyukur pada Allah dalam perjalanan metamorfosaku aku diingatkan oleh Allah, dengan umur yang hampir memasuki kepala 5 aku makin menyadari aneh dengan penampilanku, aku merasa sudah tidak pantas lagi untuk bergaya ala hijaber. Aku pernah membaca artikel dan menghadiri suatu kajian dipengajian yang membuat aku menjadi tahu, bahwa setiap lekuk tubuh yang seharusnya ditutupi rapat dapat dilihat/dinikmati orang lain terutama laki-laki merupakan dosa bagi kita. Aku tersentuh ...ya Allah.

Sampai suatu ketika temanku memposting foto di Path dengan mengenakan khimar 2 tone yang panjang. Aku melihatnya cantik sekali. Hatiku tergerak ingin juga mengenakannya. Puas aku mencari tempat jual khimar seperti itu. Akhirnya aku dapat produk tersebut secara online, tetapi pada saat datang produknya tidak begitu memuaskan hatiku. Dengan kreatifitasku aku membuat dan menjahit sendiri khimar. Bahkan akhirnya aku sempat menjual produk khimar buatanku.

Setelah memakai jilbab syar’i pun ada tahapan proses yang harus aku lalui. Mulai dari ukuran khimar 60 x 90 cm, lalu naik lagi ke ukuran 80 x 110 cm dan akhirnya ukuran 95 x 140 cm. Untuk ke kantor aku mengenakan square jilbab bahan wolfis tebal ukuran 159 x 150 cm. Tidak aku perdulikan perkataan orang disekelilingku yang mengatakan jilbabku seperti taplak meja, seperti seprei, kampungan ...bla...bla...bla...

Aku hanya ingin menutup satu pintu dosa yang biasa dilakukan oleh wanita, serta berusaha mentaati salah satu perintahNYA. Semoga aku bisa istiqomah, walaupun belum bisa menyadarkan teman-teman, saudara ataupun sesama kaum muslimah untuk menyadari tentang hakikat hijab secara aturan agama. Aku lebih sering harus menelan ludah dengan cibiran, ejekan bahkan bentakan mereka disaat aku mencoba menularkan apa yang aku punya.

Sudah sangat banyak dan sudah sangat jelas perintah Allah agar para wanita muslimah menutup aurat untuk melindungi kehormatan kita sendiri. Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan. Untuk dapat menempuh kehidupan yang indah di kampung akhirat nanti semeestinya kita menimba sebanyak-banyak pahala dan meminimalisir dosa. Janganlah hanya karena cara berpakaian yang salah dosa kita menjadi bertambah-tambah. Padahal kita belum tahu pasti apakah amalan selama didunia ini diterima atau tidak.




Aku dan ekosistemku

Meski orang pabrik tak menghalangi usaha untuk tampil seperti ini


Aku diantara habitat temen kantorku

Jelas tampak beda ukuran jilbabku dengan yang umum dipakai orang lain, wajarlah dibilang seprei atau taplak meja


Seragam jeans untuk hari Jum'at, tetep pake aturan seragam cuma kalu seluruh cewek pake celana maka aku tetep pake rok jeans