Thursday, December 21, 2017

TANGISAN SEORANG IBU DI HARI IBU

Hari ini tanggal 22 Desember 2017, kebanyakan orang baik di media sosial maupun di berbagai media lainnya begitu viral menggemakan umbaran kata-kata ucapan atau ungkapan terima kasih pada ibu mereka . Bahkan tadi pagi di sebuah channel televisi Nasional Indosiar dalam acara Mama dan Aa , ceramahnya tentang ibu, kedahsyatan doa seorang ibu, tentang bakti kepada ibu, tentang azab bagi anak yang durhaka kepada ibu. Lagi-lagi aku hanya mampu bercucuran air mata. Aku menghukum diri sendiri “apakah aku belum pantas, belum layak, dan gagal untuk menyandang predikat “ibu”???”. Predikat ibu pun rasanya tak pantas aku terima, apalagi predikat “ibu yang baik”. Anak-anakku telah meninggalkan aku, memenjarakan aku, menyebarkan pemberitaan buruk tentang aku. Ya Allah....

Aku masih mengingat beberapa bulan lalu saat menjelang tanggal tanggal 20 September, sepertiga malam aku terbangun, aku duduk merenung di sisi tempat tidur, namun aku sedang tidak bisa melakukan Tahajud/sholat malam, karena siklus bulanan. Kerinduan pada mama dan papa alm. Semua kerinduan ini bermula pada kerinduanku pada sosok anak kandungku laki-laki yang hari itu tepat berulang tahun ke-18. 

Ananda tercinta telah pergi meninggalkan aku dalam sebuah perseteruan perebutan hak asuh anak. Sang mantan yang berkolaborasi dengan anakku mempidanakan aku dengan tuduhan penganiayaan, 6 bulan hukuman penjara aku dapatkan. Kukira cukup hanya sampai disitu yang mereka lakukan. Ternyata tidak! Masih ada episode lanjutan yang dilakukan mereka , membenci, meniadakan, menghapus namaku di raport ataupun dokumen resmi lainnya dan diganti dengan nama ibu tirinya.

Aku menangis....menyesali diri, mengoreksi diri sampai ke akar-akarnya agar aku dapat menemukan kesalahanku, sehingga aku mampu mahfum dan memahami bahwa aku pantas alias wajar dibuat begini. Hampir sepuluh tahun peristiwa itu berlalu, aku belum bisa menemukan jawaban mengapa aku diperlakukan sedemikian ini. Aku memang sudah berusaha melupakan, mengikhlaskan. Namun disaat aku rindu anakku aku selalu ingat almarhumah mama dan papa alm, entahlah kenapa. Aku rindu mereka. Aku kehilangan kasih sayang dan keajaiban mustajabnya do’a mereka. Disamping itu aku juga selalu mengoreksi diri seberapa besar dosaku pada mama papa. Seberapa bandel dulu aku pada mereka? Seberapa sering aku dulu sering membuat mereka jengkel (Semua aku lakukan hanya untuk menyimpulkan mungkinkah yang aku rasakan saat ini adalah balasan dari kesalahanku pada mama dan papa dulu???). Entahlah rasanya aku anak yang penurut..banget, meskipun aku dulu suka kucing-kucingan sama mama. Disuruh tidur siang, pintu kamar ditutup aku malah menyelinap lompat jendela lalu main dengan kawan-kawan dan kembali menyelinap lagi ke kamar saat jam 4 sore, karena itulah jam mama mebangunkan kami untuk mandi sore. 

Ya Alloh ampunilah aku. Lapangkan dan terangilah kuburnya, jauhkanlah mereka dari siksa kubur, bangunkan rumah di syurga buat mama papa. Disamping itu aku selalu senantiasa mendo’akan anak-anakku yang telah dipisahkan dengan cara paksa dariku. Ya Allah .. jangan timpakan dosa dan keburukan pada mereka meskipun aku terlalu sering menitikkan air mata karenanya. Jadikanlah anak-anakku sebagai ahli syurga, yang taat dan memahami aturanMU. Lindungi mereka dari segala marabahaya, dosa, fitnah dunia dan akhirat. Aamiin...

Saudaraku sesama muslim, karena keutamaan agung yang dimiliki kedua orang tua inilah, berulang kali dalam al-Quran dan sunnah nabi–Nya disebutkan perintah agar berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua, dan peringatan agar tidak mendurhakai dan melukai mereka dengan bentuk apapun. Allah SWT berfirman dalam al-Quran yang artinya:

“Dan (ingatlah) ketika kami mengambil janji dari bani israil (yaitu): ‘ janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia; dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.’ Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil dari kamu dan kamu selalu berpaling.” (QS. Al-baqarah : 83)

HAK-HAK ORANG TUA

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً -٢٣- وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً -٢٤-
Dan Tuhan-mu telah Memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhan-ku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” (Al-Isra’ 23-24)

Dalam ayat ini, Allah melarang kita menyakiti orang tua sekecil apapun bentuknya. Bahkan hanya dengan ucapan “ah” sekalipun.

فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ
janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”

Menurut Imam Ja’far As-Shodiq, jika ada perkataan yang lebih ringan dari “ah” maka Allah akan menyebutkan kata itu. Sekecil apapun, kita dilarang keras untuk menyakiti orang tua. Mengapa Allah memberi penekanan khusus untuk berbakti kepada orang tua ketika telah lanjut usia?

Jika kita perhatikan, seorang yang lanjut usia akan mengalami perubahan. Fisik dan pikirannya mulai melemah. Banyak hal yang tak mampu dia lakukan. Terkadang semakin cerewet dan banyak permintaan. Tentu cinta seorang anak kepada orang tua berbeda dengan cinta orang tua kepada anaknya. Sang anak mulai capek mendengar permintaan orang tua yang semakin aneh dan macam-macam. Pendapat mereka sering bertolak belakang. Anak menginginkan A dan orang tua ingin B. Mungkin karena mereka terbawa oleh usia dan pengalaman yang panjang.

Terkadang, ketika anak telah tumbuh besar, mandiri dan mampu. Dia merasa tak butuh lagi kepada orang tua. Akhirnya dia bersikap meremehkan dan pening mendengar bermacam nasehat dan permintaan orang tuanya. Dia telah lupa bahwa dirinya yang hebat saat ini adalah berkat orang tuanya. Karena dia tidak akan lahir tanpa orang tua.

وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً
“dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”

Jangan sakiti orang tua kita dengan hal yang besar atau sekecil apapun. Ketahuilah, Allah swt menekankan pentingnya berbakti kepada orang tua karena bakti ini adalah hal yang sulit. Apapun perintahnya, jangan pernah kita tolak. Tetaplah menjawab mereka dengan perkataan yang sejuk dan menyenangkan.

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang”

Ketika kita mulai kaya, mampu membiayai keluarga dan orang tua, janganlah muncul rasa sombong dihadapan mereka. Jangan pernah merasa telah membalas jasa orang tua dengan menafkahi mereka bertahun tahun. Sungguh, berapapun yang kita berikan tidak bisa membalas secuil pun dari jasa mereka. Bersikaplah rendah dihapan mereka. Dekati mereka dengan penuh kasih sayang.

وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً
“Dan ucapkanlah, “Wahai Tuhan-ku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.”

Dan jangan lupa untuk mendoakannya di setiap waktu. Karena doa kita yang akan meringankan beban mereka ketika di Hari Pembalasan kelak. Secara mutlak, ayah dan ibu harus memperoleh penghormatan yang tinggi. Namun penghormatan kepada ibu harus lebih tinggi. Karena pengorbanan seorang ibu begitu besar untuk buah hatinya.

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ -١٤-
“Dan Kami Perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tua-nya. lbunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (Luqman 14)

Mengapa keutamaan berbakti kepada seorang ibu lebih utama, Rasulullah SAW bahkan sampai 3 kali menyebutkan “ibumu...ibumu...ibumu. Ingatlah bahwa kita telah bersemayam dalam rahim ibu kita selama 9 bulan lebih. Kita makan dari darah dagingnya. Pengorbanan seorang ibu sangatlah besar. Dimulai dari masa kehamilan yang begitu berat. Sebagian besar ibu-ibu pada 3 bulan pertama masa kehamilan tak bisa makan bahkan muntah secara dahsyat ketika mencium berbagai macam bau termasuk bau makanan sekalipun. Tidak hanya sampai disitu saja,  disaat usia kehamilan semakin besar diusia 7 -9 bulan penderitaan calon ibu makin bertambah lagi dengan kondisi perut yang semakin membuncit dan kaki semakin bengkak menanggung beban berat, duduk salah, tidurpun sulit, miring ke kanan salah, kekiri salah telentangpun tidak nyaman. “ lbunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun”(kutipan surat Luqman : 14)

Tibalah saatnya hari kelahiranmu ibu berjuang melawan maut untuk menghadirkanmu ke dunia ini. Lantas ketika kau sudah sedikit besar, beban ibumu akan semakin besar lagi. Tak jarang ibumu tak sempat makan atau makan dengan sempurna. Baru saja akan menyuapkan makanan kemulutnya tiba-tiba terdengar tangismu, atau teiakanmu minta diceboki, ibumu segera menghentikan makannya untuk segera menggendongmu, melayanimu. Ibumu kadangkala hanya sempat membuat sarapan agar kau pergi sekolah tidak dengan perut kosong. Tahukah kamu ibumu bahkan tak sempat menyuap atau menyantap sarapannya karena harus buru-buru bersiap mengantarmu ke sekolah agar kau tidak terlambat. Semua yang diprioritaskan ibumu hanyalah kepentinganmu. Doa-doa di setiap sujud dan tarikan nafasnya namamu selalu disebut. Yang ada di dalam hentakan nafas dan denyut nadi ibumu hanyalah kamu dan kamu saja. 

Lalu pantaskah jika saat ini engkau melupakan ibumu, mencampakannya, mengumbar cerita-cerita buruk tentangnya ke khalayak ramai? Bahkan sampai menghadiakan hukuman 6 bulan penjara atas persepsimu yang belum tentu benar tentangnya???

Wahai anakku banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengajarkan kita tentang hak-hak orang tua. Lalu apa hak-hak mereka? Apa hak ibu? Apa hak ayah? Bagaimana jika mereka telah meninggal sementara kita belum sempat berbuat baik kepada mereka? Karena itu, Allah menyuruh kita untuk bersyukur kepada-Nya dan kepada orang tua. Karena seluruh kenikmatan Allah tidak akan sampai kepada kita tanpa melalui kedua orang tua.

Ada sebuah riwayat dalam Al-adabul Mufradnya al-Imam Bukhari yang bisa dijadikan jawaban atas pertanyaan besar tersebut di atas. Hajjaj menceritakan kepada kami, ia berkata: Hammad bin Salamah menceritakan kepada kami, dari Sulaiman at-Taimi, dari Sa’id al-Qaisi dari Ibnu Abbas Rodhiyallâhu ‘Anhu, ia berkata,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ لَهُ وَالِدَانِ مُسْلِمَانِ يُصْبِحُ إِلَيْهِمَا مُحْتَسِباً ، إِلَّا فَتَحَ لَهُ اللهُ بَابَيْنِ – يَعْنِي : مِنَ اْلَجَّنةِ – وَإِنْ كَانَ وَاحِدًا فَوَاحِدٌ ، وَإِنْ أَغْضَبَ أَحَدُهُمَا لَمْ يَرْضَ اللهُ عَنْهُ حَتَّى يَرْضَى عَنْهُ ، قِيْلَ : وَإِنْ ظَلَمَاهُ ؟ قَالَ : وَإِنْ ظَلَمَاهُ
“Tidak seorang pun dari kaum Muslimin yang mempunyai kedua orang tua beragama Islam yang berbakti kepada mereka berdua dengan mengharap pahala (dari Allah) melainkan Allah akan membukakan dua pintu –maksudnya pintu Surga- untuknya. Jika tinggal salah satu dari keduanya yang masih hidup, maka yang akan dibukakan adalah satu pintu. Jika dia menjadikan salah satu di antaranya marah, Allah tidak akan ridha (kepadanya) hingga orang tuanya ridha kepadanya.“ Lalu ada yang bertanya, “Meskipun kedua (orang tua)nya itu menzaliminya?” Ibnu Abbas menjawab, “Meskipun keduanya menzaliminya,” (Hasan dengan dua jalan. Said adalah rawi yang majhul) 

Menurut Syaikh Dr. Muhammad Luqman as-Salafi, Rektor Universitas Islam Ibnu Taimiyah, Darussalam – India, dalam Syarah Adabul Mufrad menjelaskan beberapa hal terkait dengan hadits tersebut. Diantaranya:

Maksud dari Wain Dzolamâhu adalah keduanya (orang tua) menzaliminya dalam berbagai perkara dunia. Berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua adalah wajib, walaupun keduanya telah menzalimi anak dalam perkara dunia.

Derajat hadits di atas dhâ’if, akan tetapi makna yang dikandungnya dapat dibenarkan.Jadi, kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua tetap harus ditunaikan meski kedua orang tua berbuat zalim.

Hal yang serupa juga disampaikan oleh Syaikh ‘Atha bin Khalil, Amir Hizbut Tahrir Ketika ditanya oleh seseorang yang bernama Lamis Sh dengan pertanyaan sebagai berikut:

Apa hukumnya marah kepada orang tua dan bersuara keras kepada orangtua dan bersuara keras kepada meraka? Terlintas dalam benak, bagaimana jika orangtua telah menyebabkan berbagai kesulitan bagi anaknya? Bukannya mendapatkan pemeliharaan dari kedua orangtuanya pada saat masih kecil, si anak justru harus mandiri dan menyelesaikan persoalannya sendiri. Apakah marah kepada kedua orangtuanya, dan bersuara keras terhadap mereka termasuk tindakan ‘uquq al-walidain (tidak berbakti kepada kedua orangtua) dan menyebabkan seseorang tidak mendapatkan taufik dalam kehidupannya?

Setelah Syaikh ‘atha bin Khalil menyampaikan bahwa seorang anak tidak boleh marah dan bersuara keras kepada kedua orangtuanya berdasarkan firman Allah swt di dalam QS al-Isra [17]:23 yang melarang seorang anak yang mengatakan “ah!” dan juga menyampaikan penjelasan hadits nabi dalam Sahih Muslim dari Abu Hurairah, “Sungguh celaka, sungguh celaka, sungguh celaka, seorang yang masih bertemu kedua orangtuanya yang sudah tua, apakah salah satu atau keduanya, tetapi ia tidak masuk surga” beliau menyatakan:

“Dalam suatu kejadian, jika seseorang tanpa sadar lalai dan “marah” kepada kedua orangtuanya, sebagaimana kasus yang ditanyakan, maka ia harus segera memohon ampun kepada Allah Swt, serta meminta maaf dan keridhaan orangtuanya. Hati orangtua pada umumnya adalah hati yang lemah lembut dan pemurah; maka mereka pun akan mudah memaafkan kelalaian anak-anaknya, jika anak-anaknya tersebut meminta maaf kepada mereka”

Dari keterangan tersebut, bisa dipahami bahwa kesalahan atau kedzaliman yang pernah dilakukan oleh orang tua kepada anaknya tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk marah kepada orangtuanya. Dengan kata lain, kita tetap wajib berbuat baik kepada kedua orangtua meski mereka pernah berbuat dzalim kepada kita anaknya. Semoga kita termasuk anak-anak yang berbakti kepada kedua orang tua kita . Âmîn Yâ Robbal ‘Âlamîn.

Andai kau tahu bermalam-malam ibumu menangis dalam sujudnya mendo'akan kebahagiaan dan keselamatanmu dunia akhirat. Karena aku ibumu, seorang ibu sedikitpun tak pernah berniat jahat kepada anaknya. Itu yang belum kau pahami anak-anakku. Karena aku ibu kandungnmu. Sejahat-jahat ibu kandung masih lebih baik dari ibu pengganti lainnya

Monday, November 20, 2017

JAGALAH LISANMU

Aku pernah merasakan sangat terluka hanya dengan celetukan seorang teman yang memang di setiap kalimatnya lebih sering kasar dan pedas, meskipun kalimat-kalimatnya diucapkan dengan suaranya yang merdu dan lembut. Ceritanya kala itu ada jalan sehat bersama warga komplek dalam rangka HUT RI yang ke-72. Aku, dia, Lina jalan bersama sambil ngobrol seadanya. Lina bercerita tentang anak-anaknya yang berjumlah 3 orang yang akan lulus secara bersamaan tahun ini. Bercerita tentang dia yang mulai mempersiapkan diri untuk menabung uang dalam rangka biaya masuk sekolah baru yang memerlukan biaya cukup besar . Aku mendengarkan dengan seksama.

Lina melanjutkan ceritanya tentang bagaimana cara mengelola keuangan yang baik. Aku membesarkan hati dengan berucap "Semangat Lina semua itu / membesarkan anak merupakan ladang ibadah yang sangat besar pahalanya, dibanding aku yang kesepian tanpa anak". Lalu Lina juga berusaha menghibur aku, jika aku kesepian bolehlah mengajak anaknya untuk main. 

Aku antusias menjawab “bener ya kalau aku mau ke mall aku boleh ajak anakmu ya Lin?” ujarku.“Ohhh...boleh banget mbak, apalagi si Bibil (anak bungsunya) pasti mau banget diajak jalan-jalan ke mall”. Kami tergelak-gelak dengan kalimat lucu-lucu kami. Tapi tiba-tiba si “teman” satunya yang bersama kami nyeletuk

“ Iya pertama anaknya dulu yang diajak main, diajak jalan, nanti ujung-ujungnya bapaknya pula yang diajak main dan jalan-jalan” 

Jlebbb...aku tersentak kaget. Terdiam sejenak sambil dalam istighfar tak percaya rasanya mendengar kalimat itu. Lantas dengan hati terluka aku membalas datar“Ah tak mungkinlah. Aku ini masih punya hati dan perasaan, tak mungkin jadi pelakor.”
“Nehh... siapa tahu”, dia kembali menimpali sambil tergelak

Ya Allah... untunglah aku punya kesabaran yang lebih, sehingga menelan kalimat-kalimat sadisnya dengan sakit. Namun ketika aku curhat pada adik kandungku, dia langsung emosi, “Ah bodoh kau tuh, kalau aku langsung kucekik lehernya, bilang aja eh...jangan sembarang ngomong, apa maksudmu???”. Tapi aku adalah aku yang memang selalu memendam emosi ke dalam, meski aku terluka. Tapi aku selalu berhati-hati terhadap si”teman” itu, tak ingin terlalu dekat atu berada dekat dengannya.

Dilain waktu yang tidak berselang lama dari kejadian di atas hal ini terjadi lagi.Saat itu sebagai pengurus persatuan ibu-ibu erte komplek, kami bertiga Yossi dan Ana mengadakan rapat kecil yang tadinya mau diadakan di rumahku. Kebetulan hari Sabtu itu aku baru pulang dari travelling ke Batam, yang nota bene rumahku masih sangat berantakan. Aku khawatir tidak bisa menjamu mereka dengan baik di rumahku. Lantas aku ajak mereka rapat alias diskusinya di suatu rumah makan, cafe atau apalah. Setuju... nah rapat dan makan selesai jam 11, artinya masih lumayan pagi. Tadinya untuk refreshing salah seorang dari kami mengusulkan “ngemall” saja. Aku berpikir jika ngemall akan menguras kocek, pastilah meski hanya sight seeing akan keluar uang juga ujung-ujungnya.

Aku usul kita refreshing ke karoke aja yuk, ambil yang 1 jam saja. Sambil nyanyi kita masih bisa bahas-bahas lagi tentang acara outdoor arisan kita bulan depan. Semua setuju, maka jadilah kita karokean. Tak ada yang salah rasanya kami ke tempat ini. Hanya relaxing dengan lagu-lagu tempo dulu. Sementara salah satu dari kami sedang nyanyi kami berdua bisa lagi men”setting” tentang rencana arisan erte yang akan di lakukan outdoor. Tak ada yang salah... Nah sumber masalahnya tuh adalah selama karoke itu kami foto-foto dan sama bu Ketua foto kami bertiga disend ke group WA. Rame komentar, tapi semua berkomentar baik kok. Malah ada yang bilang kok gak ngajak dsb. Termasuk “teman” itu ikut komentar dengan memberikan emoticon jempol. Bagiku semua itu wajar dan biasa saja.

Keesokan harinya, di undangan pesta pernikahan anaknya Titi Ferdi aku kembali tersentak, ketika bersalaman dan cipika-cipiki saat bertemu “teman” ada kalimat pedas yang dia kembali lontarkan. “ Uhhhh...mbak Esi pake jilbab syar’i, tapi pergi ke karoke. Tak malu sama jilbabnya”. Hanya kalimat pendek yang dibisikan di telingaku saat bersalaman dengan nada suara berbisik tapi dahsyatnya membuat aku tersentak. Apa ada yang salah aku di tempat karoke, toh kami disana hanya bertiga dan wanita semua. Kami tidak bermaksiat??? Karena tak sanggup menahan rasa kaget aku curhat pada Yossi dan Ana yang duduk bersebelahan denganku. Aku ceritakan kalimat-kalimat yang dibisikan “teman” itu. Langsung Yossi nyeletuk “Loh...memangnya kita melacur, melonte di tempat karoke itu???? Apa urusannya???”.

Bukan 2 kali kejadian itu saja. Dulu sekali si “teman” ingin menjadikan aku teman dekatnya, dimana dia selalu membagi saat punya makanan atau apalah, tetapi karena sikap dan perilaku dan kalimat-kalimat nya agak kurang berkenan di hatiku aku secara halus menarik diri untuk menjaga jarak. Memang “teman” itu orang berpunya, rumah mewah, harta berlimpah namun aku tak mau menjalin pertemanan yang menyakitkan dan membeli pertemanan dengan uang sehingga dengan kemurahan yang dia berikan lantas dia menginginkan aku menjadi “Scooby doo”, sianjing penurut. Mohon maaf aku bilang “No”.

Itulah prolog yang membuat aku belajar, mencari sumber ilmu dan berbagi tentang menjaga lisan ini. Jika aku sangat terluka diperlakukan seperti itu aku bermohon pada Allah untuk tidak membuat orang lain terluka. Makanya aku memang jarang bicara, dimanapun. Persatuan ibu-ibu kompleks, di rapat-rapat kantor, dipertemuan apapun, bahkan dengan saudara kandungku sendiri. Kadang meski tahu aku lebih memilih diam untuk tidak menunjukkan aku pandai, pintar dan tahu. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka katakanlah perkataan yang baik atau jika tidak maka diamlah.”(Muttafaqun ‘alaihi)

Selain dari sabda Rasulullah SAW itu banyak kalimat dan perkataan para ulama yang mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga lisan

Jangan mudah melontarkan kata-kata yang bisa membuat hati seseorang sakit. Karena terkadang yang menurutmu biasa saja atau itu hanya sebuah lelucon dan candaan, bisa jadi ia malah melukai hati seseorang. Kamu tidak pernah tahu perasaan seseorang itu bagaimana, oleh sebab itu jaga lisanmu

Berhati-hatilah dalam berbicara, jangan sampai melukai hati siapapun. Alangkah baiknya pikir dahulu sebelum mengatakan sesuatu takut menyinggung dan menyakiti hati orang lain Sekali kamu menyakiti dengan ucapannmu. Mungkin ia bisa memafkanmu tetapi dia selamanya tidak akan pernah lupa apa yang dikatakan olehmu. Ia akan tetap mengingat bagaimana kamu mengucapkan kalimat itu sehingga bisa melukai hatinya. 

Sekali kamu salah dalam berkata maka ucapannmu itu tidak bisa ditarik kembali. Maka berhati-hatilah jangan sampai melukai hati orang lain. Karena memafkan itu tidak mudah apalagi melupakannya. Maka hati-hatilah saat kamu berbicara, alangkah baiknya kamu berpikir dulu sebelum kamu mengatakannya Jangan kamu kira ucapanmu itu hanya akan menyakiti orang lain saja. Bahkan jika kamu salah dalam berbicara maka ucapanmu itu bakal berbalik arah dan bakalan melukai diri kamu sendiri. 

Ucapan yang menurut kamu biasa dan sederhana itu yang justru akan membunuhmu jika ucapanmu salah. Ingat lidah itu bisa membunuh diri kamu sendiri kalau kamu sampai mengatakan hal yang salah. Makanya lebih baik hati-hati dalam berkata takut hanya melukai diri sendiri dan orang lain.

Maka, berbicaralah yang mengandung manfaat, bijakkanlah lisanmu untuk berkata yang baik-baik, agar kamupun selalu tersanding dengan kebaikan. Dan yang paling penting adalah, saat kau pandai menghargai dirimu dengan pandai menjaga lisan dan tutur katamu, maka akhirnya orang lainpun akan gampang menghargaimu.

Dan ingat, lisanmu Allah ciptakan untuk menyebut kebaikan, bukan untuk melukai hati orang lain. Maka, dimanapun kamu berada dan sampai kapanpun, kau harus selalu menjaga lisanmu dengan bijak, sampaikanlah kebaikan dan bila memang tidak mampu, maka jagalah agar tak pernah menyebut keburukan orang lain. Hati-Hatilah Menjaga Lisanmu, Jangan Menyakiti Dan Jangan Pula Berbicara Yang Membuatmu Berdosa Pada Allah

Bahaya Tidak Menjaga Lisan 
Salah satu bahaya tidak menjaga lisan adalah menyebabkan pelakunya dimasukkan ke dalam api neraka meskipun itu hanyalah perkataan yang dianggap sepele oleh pelakunya. Sebagaimana hal ini banyak dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salah satunya adalah hadits yang telah disebutkan di atas. 

Atau dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang rukun iman dan beberapa pintu-pintu kebaikan, kemudian berkata kepadanya: “Maukah kujelaskan kepadamu tentang hal yang menjaga itu semua?” kemudian beliau memegang lisannya dan berkata: “Jagalah ini” maka aku (Mu’adz) tanyakan: “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Semoga ibumu kehilanganmu! (sebuah ungkapan agar perkataan selanjutnya diperhatikan). Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka.” (HR. At-Tirmidzi) 

Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata mengenai makna hadits di atas, “Secara dzahir hadits Mu’adz tersebut menunjukkan bahwa perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk neraka adalah karena sebab perkataan yang keluar dari lisan mereka. Termasuk maksiat dalam hal perkataan adalah perkataan yang mengandung kesyirikan, dan syirik itu sendiri merupakan dosa yang paling besar di sisi Allah Ta’ala. Termasuk maksiat lisan pula, seseorang berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu, ini merupakan perkara yang mendekati dosa syirik. Termasuk di dalamnya pula persaksian palsu, sihir, menuduh berzina (terhadap wanita baik-baik) dan hal-hal lain yang merupakan bagian dari dosa besar maupun dosa kecil seperti perkataan dusta, ghibah dan namimah. Dan segala bentuk perbuatan maksiat pada umumnya tidaklah lepas dari perkataan-perkataan yang mengantarkan pada terwujudnya (perbuatan maksiat tersebut). (Jami’ul Ulum wal Hikaam)

Buah menjaga lisan
Buah menjaga lisan adalah surga. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من يضمن لي ما بين لحييه وما بين رجليه أضمن له الجنة
“Barangsiapa yang mampu menjamin untukku apa yang ada di antara kedua rahangnya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan) aku akan menjamin baginya surga.” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk menjaga lisan dan kemaluannya dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah, dalam rangka untuk mencari keridhaan-Nya dan mengharap balasan berupa pahala dari-Nya. Semua ini adalah perkara yang mudah bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala. (Kitaabul Adab)

Saudariku kita telah mengetahui bahaya yang timbul akibat tidak menjaga lisan, dan kita pun telah mengetahui bagaimana manisnya buah menjaga lisan, sudah sepantasnya kita selalu berpikir sebelum kita mengucapkan suatu perkataan. Apakah kiranya perkataan tersebut akan mendatangkan keridhaan Allah Ta’ala atau bahkan sebaliknya ia akan mendatangkan kemurkaan Allah Ta’ala. Cukuplah kita selalu mengingat firman Allah Ta’ala (artinya):

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18). 

Juga firman Allah Ta’ala (artinya):

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)

Saudariku, berhati-hatilah terhadap lisan karena sebuah ucapan bisa menjerumuskan kita ke dalam api neraka. Apabila kita tidak mengetahui sebuah perkara dengan pasti, sebaiknya kita diam saja. Dan janganlah kita mengucapkan perkataan yang menyakiti hati orang lain, sekalipun itu hanya candaan. Sebab di akhirat kelak, segala apa yang kita ucapkan dengan lisan pasti akan dimintai pertanggung jawaban.

Semoga Allah SWT senantiasa meluruskan lisan-lisan kita, memperbaiki amalan-amalan kita dan memberikan kita taufik dan hidayah untuk selalu mengamalkan perkara yang dicintai dan di ridhoi Allah.




Sumber : muslimah.or.id, rumaysho.com dan berbagai sumber lainnya. 

Tuesday, November 14, 2017

APAKAH MEMBACA AL QUR'AN LEWAT SMART PHONE DAPAT PAHALA?

Menjadi kebiasaan setiap hari sebelum memulai pekerjaan kantor aku selalu membaca Al Qur’an beberapa ayat melalui tablet (smart phone), seketika seorang teman kantor berkomentar kenapa membaca Al Qur’an via smart phone, kan tak ada pahalanya. Bukan sekali ini saja aku mendapat komentar seperti itu. 

Aku mencoba menjelaskan hukumnya tentang itu, termasuk alasan mengapa aku membaca Al Qur’an via smart phone. Pertama, aku sengaja karena tidak ingin orang lain tahu aku sedang membaca Al Qur’an, dari kejauhan hanya terkesan aku sedang membuka HP yang bisa dikonotasikan aku sedang baca message atau media sosial. Kedua, jika membawa Al Qur’an banyak persyaratan yang harus dipenuhi, seperti harus sangat berhati-hati menempatkan Al Qur’an agar tidak di tempat yang salah, berhati-hati untuk menyentuhnya dan sebagainya. Demikian juga ketika pergi ke majelis-majelis lain yang mengharuskan aku dengan sangat cepat menemukan ayat berapa, surat apa? Menggunakan smart phone akan dapat dengan cepat menemukan ayat dan surat saat ustadz memerintahkan, coba bunda buka surat... ayat... 

Itu saja sih alasan mengapa aku suka membaca Al Qur’an melalui smart phone. Jika di rumah  memang aku selalu membaca Al Qur’an melalui mushaf. Karena beberapa kali aku mendengar komentar seperti di atas, aku tergelitik mencari sumber dan informasi yang benar, khawatir komentar teman-teman di atas benar adanya.  Bagaimana hukumnya membaca Al Quran dari handphone? Apakah pahalanya sama dengan membaca Al Quran dari mushaf?  Mungkin perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian kata mushaf menurut istilah zaman sekarang ini. Mushaf adalah materi yang digunakan untuk mengumpulkan Al Quran yang sesuai dengan urutan ayat dan suratnya, dengan bentuk tulisan seperti pada mushaf yang disepakati umat islam di zaman khalifah Utsman bin Affan radhiallahu’anhu. 

Definisi di atas mencakup semua jenis mushaf. Baik mushaf kuno, seperti mushaf yang terbuat dari kertas, yang merupakan kumpulan lembaran, tertulis huruf-huruf al-Quran, yang ditutup dua sampul. Atau mushaf model baru seperti mushaf yang termuat dalam chip atau yang tersimpan di CD, termasuk (huruf) timbul yang digunakan dengan jarum Braille untuk menulis di kertas-kertas khusus penyandang tunanetra. 

Kemudian, apabila mushaf elektronik memiliki bentuk yang berbeda dengan mushaf lembaran kertas, baik susunannya dan penampilan hurufnya – dan seperti ini keadaan aslinya – maka yang semacam ini tidak dihukumi sebagaimana mushaf kertas, kecuali setelah aplikasi Al-Quran di alat ini dihidupkan, sehingga tampak ayat Al-Qurannya, yang tersimpan di dalam memori mushaf elektronik itu. 

Jika teks mushaf dalam alat telah nampak, dengan tulisan yang bisa dibaca, maka membaca mushaf ini seperti membaca mushaf di kertas. Akan mendapatkan pahala, sebagaimana yang dijanjikan dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ ﴿الم﴾ حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Barangaiapa yangmembaca satu huruf dari kitabullah (Al Qur’an) maka baginya satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatgandakan 10 kali lipat. Tidak kukatakan aliflammim itu satu huruf. Akantetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satuhuruf.” (Dikeluarkan At Tirmidzi Dalam Fadhailul Qur’an No 2910. Dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No 6469)

dan hadis dari Abdullahbin mas’ud secaramarfu’,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ فَلْيَقْرَأْ فِي الْمُصْحَف

“Barangsiapa yang ingin bahagia karena dirinya yakin telah mencitai Allah dan RasulNya maka hendaknya ia membaca dengan mushaf Al-Qur’an.” (Dikeluarkan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No 2027. Dinilai shahih oleh Al Albani dalam Assilsilah Ash Shahihah No. 2342) Serta hadis-hadis shahih lainnya yang menunjukkan keutamaan membaca Al-Qur’an dan memperbanyak bacaan Al-Quran.

Adapun larangan membawa mushaf elektronik ke dalam kamar mandi tanpa kebutuhan atau kondisi darurat, dipahami apabila aplikasi dalam alat itu atau dalam HP dalam keadaan hidup, dan menampilkan ayat-ayat al-Quran. Termasuk juga dalam larangan, menyentuhkan benda najis atau meletakkan najis di atasnya, atau mengotorinya dengan najis. Hal ini, karena status kemuliaan Al-Quran berlaku untuk alat tersebut, selama aplikasi dihidupkan dan tampak ayat-ayat dan surat-sutatnya.

Hanya saja, status larangan di atas menjadi hilang dari mushaf Al-Quran ini, ketika aplikasi Al-Quran dimatikan, dan tidak lagi nampak ayat-ayatnya dengan matinya tampilan di layar. Dan kondisi tidak diaktifkan, tidak terhitung mushaf, sehingga tidak dihukumi sebagaimana mushaf kertas.

Di sisi lain, boleh bagi orang yang sedang hadas kecil atau besar, menyentuh bagian HP atau peralatan lainnya, yang berisi aplikasi Al-Quran. Baik ketika sedang dimatikan, atau diaktifkan. Karena teks Al-Quran yang ada di mushaf elektronik yang tampil di layar HP hanya vibrasi huruf yang diproses secara harmonik. Di mana, dia tidak bisa tampil di layar, kecuali melalui aplikasi elektronik.

Oleh karena itu, menyentuh kaca layar, tidak dianggap menyentuh mushaf yang asli. Karena tidak bisa dibayangkan, bagaimana cara menyentuhnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Berbeda dengan mushaf kertas, menyentuh kertasnya atau hurufnya, termasuk menyentuh secara langsung. Untuk itu, tidak diperintah bagi orang yang mengalami hadas untuk bersuci ketika hendak menyentuh mushaf elektronik, selain sebatas kehati-hatian.

Sumber:http://ferkous.com/site/rep/Bq151.php




MENISBATKAN NAMA DIRI DENGAN NAMA SUAMI

Keinginan membuat artikel ini bermula ketika di dalam chat group WA  persatuan arisan RT lingkungan tempat aku tinggal , pengurus meminta seluruh anggota menuliskan nama satu persatu dengan tujuannya untuk membuat list nama anggota. Mulailah satu persatu anggota memberikan namanya. Bagus sih karena 3 dari peserta yang telah menulis nama memberikan nama asli mereka. Baru saja aku ikut memberikan namaku, terbaca reply chat siibu Ketua. Agar tulis nama lengkap yaitu cantumkan nama suami di belakang nama anda.

Entah apa yang membuat aku cukup berani menimpali permintaan tersebut. 
“ Dalam Islam haram hukumnya menisbatkan nama dengan nama suami. Tulis saja nama sendiri/nama suami, jika memang informasi nama suami memang dirasakan perlu untuk arisan ibu-ibu. Begitu lebih baik” . Masa bodoh apa tanggapan anggota group dengan kalimat tegasku itu. Aku hanya ingin menyatakan yang benar, karena fenomena penulisan nama suami di belakang nama isteri sudah menjadi hal yang awam, bahkan dianggap benar. 

Fenomena menuliskan nama suami di belakang nama seorang isteri memang sangat populer di berbagai kalangan. Bahkan dalam kelompok arisan/persatuan ibu-ibu komplek tempat aku tinggalpun dalam daftar nama anggota hampir semuanya menuliskan seperti itu. Selama ini mereka sudah salah menurutku. Yang membuat aku berani menyatakan dengan tegas melalui chat WA kemaren hanyalah karena perintah sang ibu ketua akan membuat semua anggota melakukan kesalahan. Bukankah 3 orang yang memberikan daftar nama pertama kali sudah benar? Kenapa disesatkan dengan perintah yang bertentangan dengan ajaran Islam? 

Dalam ajaran Islam seorang istri tidak boleh menambahkan nama suaminya atau nama keluarga suaminya yang terakhir setelah namanya sebagaimana banyak terjadi kepada non-muslim berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (3508) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ ، وَمَنْ ادَّعَى قَوْمًا لَيْسَ لَهُ فِيهِمْ – أي نسب - فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّا
رِ
Artinya: (tidaklah seseorang mendakwakan kepada selain ayahnya sedangkan dia mengetahuinya kecuali dia telah kafir, barangsiapa yang mendakwakan kepada suatu kaum sedangkan dia tidak memiliki nasab dari mereka, maka hendaklah dia memesan tempatnya dalam neraka).


وقال صلى الله عليه وسلم : ( مَنْ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ .. فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ) رواه ابن ماجة (2599) وصححه الألباني في صحيح الجامع (6104
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (Barangsiapa yang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya, maka baginya laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya) HR Ibnu Majah(2599) dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (6104).

Dalam dua hadits diatas ada ancaman keras bagi yang mengganti nama ayahnya atau keluarganya dan menisbatkan dirinya kepada keluarga atau kaum yang bukan asalnya. Disamping itu perbuatan ini juga merupakan tasyabuh (menyerupai) orang-orang kafir, karena tradisi yang tercela ini tidak pernah dikenal kecuali dari mereka, dan dari merekalah sebagian kaum muslimin yang awam mengadopsinya.

Dalam perbuatan itu juga ada unsur pengingkaran seorang wanita kepada keluarganya dimana hal itu bertentangan dengan sifat kebajikan, ihsan dan akhlak yang mulia. Sesungguhnya sangat banyak pengaruh dari tasyabuh dengan orang-orang barat dalam hal pemberian nama, diantaranya yang banyak terjadi sekarang ini yaitu dengan menghapus antara namanya dan bapaknya sebutan bin atau binti, yang dahulu sebabnya adalah karena sebagian keluarga mengangkat sebagian orang menjadi anak angkat, sehingga mereka menambahkan nama mereka dibelakangnya, maka jadilah mereka (fulan fulan), yaitu untuk membedakan anak kandung mereka yang dipanggil (fulan bin fulan), kemudian pada abad 14H mereka mulai menghapus sebutan bin atau binti dari anak kandung mereka dimana hal itu merupakan perkara yang diingkari baik secara bahasa, adat maupun syar’i.

Diantara pengaruh lain dari penisbatan istri kepada nama suaminya karena aslinya: bahwa seorang wanita haruslah dipanggil (fulanah binti fulan), bukan (fulanah istri fulan) meskipun kita tahu bahwa suami memiliki kedudukan sangat tinggi bagi istrinya, bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan seandainya sujud kepada manusia diperbolehkan niscaya seorang istri diperintahkan untuk sujud kepada suaminya.

Dalam hal ini Allah Ta’alaa berfirman:

{ ادعوهم لآبائهم هو أقسط عند الله } [ الأحزاب:5]
Artinya: (panggilah mereka kepada bapak-bapak mereka itu lebih adil disisi Allah) [QS Al-Ahzab:5].

Perintah ini tidak hanya berlaku di dunia tetapi juga di akhirat sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:


قال النبي صلى الله عليه وسلم " إن الغادر يرفع له لواء يوم القيامة ، يقال هذه غدرة فلان بن فلان " . رواه البخاري (5709) ، ومسلم (3265).
“Sesungguhnya pengkhianat akan dikibarkan untuknya bendera pada hari kiamat, lalu dikatakan inilah pengkhianatan fulan bin fulan” HR Imam Bukhari (5709) dan Muslim (3265).

Syeikh Bakr Abu Zaid hafidhohullah berkata: ini termasuk rahasia dalam syariat, karena penisbatan kepada bapak lebih kuat untuk dikenal, dan lebih dalam untuk dibedakan, karena bapak adalah yang memiliki hak kepemimpinan atas anaknya dan ibu anaknya di rumah dan di luar. Oleh karena itu bapak muncul dalam perkumpulan dan pasar-pasar, dan dia rela menempuh bahaya dalam safarnya untuk mendapatkan rizki yang halal dan berusaha demi kebaikan dan kelancaran urusan mereka, maka sangat pantas untuk menisbatkan anak kepadanya bukan kepada ibu-ibu mereka yang diperintahkan oleh Allah Ta’alaa dalam firman-Nya (Dan diamlah kalian dalam rumah kalian) [QS Al-ahzab:33]. Lihat kitab Tasmiyatul Maulud: 30.

Oleh karena itu: karena tidak adanya hubungan nasab antara suami dan istri maka bagaimana bisa ditambahkan kepada nasabnya, kemudian barangkali suatu saat dia dicerai, atau suaminya mati, lalu menikah dengan pria lain, maka apakah penisbatan kepada suaminya akan senantiasa berubah ketika dia hidup dengan pria lain ?

Ditambah lagi bahwa penisbatan kepada ayahnya berkaitan dengan hukum-hukum warisan, nafkah, kemahraman dan lain-kain maka penisbatannya kepada suaminya akan merusak semua itu. Kemudian ketika suami menisbatkan dirinya kepada bapaknya lalu apa kaitan istri dinisbatkan kepada bapak mertuanya ? Tentu ini adalah sesuatu yang menyimpang dari akal sehat dan kenyataan.

Tidak kita temukan dalam sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa istri dinisbatkan kepada suaminya, bahkan ini merupakan perkara baru yang tidak ditetapkan oleh syariat Islam, karena para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu para ibu kaum mukminin menikah dengan manusia yang paling mulia nasabnya namun tidak seorang dari mereka yang dinisbatkan kepada nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan mereka semua masih dinisbatkan kepada ayah mereka meskipun kafir, demikian pula para istri sahabat radhiallahu anhum dan yang datang setelah mereka tidak pernah mengganti nasab mereka. 

Kesimpulannya kita sebagai muslim yang memiliki jati diri, yang taat kepada Allah Ta’alaa dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendaklah menghindari hal-hal seperti ini karena adanya larangan tasyabuh dengan mereka apalagi biasanya hal itu hanya ditujukan untuk mencari sensasi.



Sumber : www.muslimah.or.id dan rumaysho.com



Friday, November 10, 2017

BUKA TUTUP JILBAB

Berita yang sedang viral beberapa hari belakang ini yaitu seorang presenter melepas jilbabnya. Aku cuma bisa istighfar dan merasa kasian. Memang aku atau siapapun tidak boleh terlalu ikut campur, memvonis atau apapun. Hidupnya adalah tanggung jawabnya sendiri pada Allah. Dia memang berhak membuat keputusan untuk kehidupannya sendiri dengan segala alasannya. Sebagai kaum yang paham tentang kewajiban berhijab akan merasa sangat sedih dengan kondisi seperti itu. Kenapa hidayah yang sudah datang justru diingkari. Sesungguhnya Allahlah yang mebolak-balikkan hati manusia, maka wahai ukhti teruslah berdo’a memohon pada Allah untuk tetap dalam keimanan kita,

اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Allahumma mushorrifal quluub shorrif quluubanaa ‘ala tho’atik” [Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu!

Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“ Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya.”

Di zaman yang serba canggih ini, banyak wanita yang mengaku muslimah tapi tenang-tenang saja ketika memamerkan auratnya di depan umum. Padahal agama Islam menyuruh seluruh umatnya untuk menutupi auratnya ketika di depan orang lain. Selain itu, banyak perempuan yang tidak istiqomah (berpegangan erat) dengan jilbab. Kadang-kadang mereka mengenakan hijab, kadang-kadang tidak. Padahal menutupi aurat itu hukumnya wajib, termasuk mengenakan hijab.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
"Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri orang-orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tak diganggu dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzab: 59).

Lantas apa hukuman bagi wanita yang suka lepas pasang jilbab atau tidak istiqomah mengenakan jilbab? Jika diteliti lebih jauh lagi, apa bedanya perempuan yang mempermainkan jilbab dengan orang yang mempermainkan agama? Perempuan yang mempermainkan jilbab bisa dianggap sebagai orang yang munafik dan tidak patuh terhadap perintah Allah.

"Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentu kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam." (QS. An-Nissa: 140).

Allah SWT melarang umatnya memperolokan atau mempermainkan ayat-ayat yang telah diturunkan. Dalam arti lain, orang yang mengingkari atau tidak patuh terhadap ayat-ayat Alquran sama saja dengan memperolokan ayat-ayat Allah.

Kembali lagi kepada perempuan yang mempermainkan jilbab dan menganggap jilbab itu hanya hiasan, atau sekedar pakaian yang bisa dibuka kapan saja mereka mau, maka mereka sudah dianggap sebagai golongan orang munafik. Dan tempat untuk orang munafik adalah neraka Jahannam.

Sahabat muslimah, maksud lepas pasang jilbab di sini adalah perempuan yang kadang memakai jilbab ketika sedang di luar rumah, tapi sering pula mereka melepas jilbabnya ketika di luar rumah. Atau dalam beberapa kasus, ada perempuan yang mengenakan jilbab hanya untuk cari sensasi, bukan semata-mata karena Allah, sehingga bila ada kecewa, sakit hati atau masalah kehidupan wanita tersebut dengan mudah melepaskan jilbab yang selama ini sudah dikenakannya. Wahai ukhti fillah istiqomah dan taatlah dalam perintah Allah tentang berhijab, bahkan sempurnakanlah caramu berhijab. Hidup ini singkat dan sungguh kehidupan di dunia ini hanya perhiasan dan tempat tinggal sementara. Jangan sampai kita menyesal pada saat sudah di alam barzah, ketika catatan amal dan kebaikan kita dibuka. Tentu tidak mungkin kita kembali lagi untuk bisa memperbaiki diri, waktumu sudah habis. Renungkanlah saudaraku muslimah.

Teruslah perbaiki caramu berhijab ukhti fillah

Note : Artikel ini disarikan dari berbagai sumber via google searching


Sunday, October 15, 2017

SAYANGI IBUMU


وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ - ١٤-
“Dan Kami Perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tua-nya. lbunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (Luqman 14)

Ibumu yang menyediakan bahunya untuk menumpu kain penggendong,..

Cerita hikmah dimasa lalu, masa Rasulullah SAW sudah sangat sering kita dengar dari berbagai sumber baik itu para ulama, maupun diberbagai media lainnya. Menyimak dan mendalami cerita ini hendaknya kita sama-sama belajar mengingat dan mengambil contoh.

Tersebutlah seorang ahli ibadah pada masa Rasulullah SAW. Hari-hari digunakan untuk berdzikir dan mengerjakan sholat tahajjud. Ia pun senang bersedekah dan mengerjakan kebaikan-kebaikan. Orang-orang memanggilnya Alqomah. Ia tinggal di sebuah rumah bersama istri yang dicintainya. Sementara ibu Alqomah yang sudah tua tinggal sendiri di desa.

Suatu ketika Alqomah jatuh sakit. Makin lama sakitnya makin parah. Hingga ia pun tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa berbaring di atas tempat tidur. Istrinya lah yang merasa bahwa Alqomah sedang mengalami naza’ atau sakaratulmaut. Ia pun mengutus seseorang untuk melaporkan keadaan ini kepada Rasululloh SAW. Setelah mendengar cerita itu, Rasullullah SAW mengutus tiga orang sahabat yaitu Bilal, Amar dan Suhaib untuk menengok Alqomah. Beliau berpesan agar mereka mengajarkan kalimat talqin pada Alqomah.

Sesampainya di rumah Alqomah, ketiganya langsung menemui Alqomah yang sedang mengalami sakaratulmaut. Mereka lalu menuntunnya agar melafadzkan kalimat Laa ilaaha illallah. Tapi apa yang terjadi? Mulut Alqomah tidak terbuka sedikitpun, terkunci. Berkali-kali ketiga pemuda itu mengajarkan, berkali-kali pula mulut Alqomah seperti terkunci. Ketiganya heran. Padahal Alqomah adalah orang yang ahli ibadah, tapi kenapa tidak bisa membaca kalimat sesederhana itu.

Dengan menyimpan rasa tidak percaya, ketiganya pulang menghadap Rasullulah. Mereka langsung menceritakan kejadian itu.

Rasullulah bertanya.‘’Apakah orang tua Alqomah masih hidup?’’
‘’Wahai Rasullullah…Alqomah mempunyai seorang ibu yang sudah tua’’
‘’Kalau begitu pergilah kalian menemui Ibunda Alqomah. Jika ia masih kuat untuk berjalan, mintalah ia agar datang kemari. Tapi jika tidak, biar aku saja yang kesana’’

Pergilah Bilal, Amar dan Suhaib ke rumah Ibunda Alqomah. Sesampainya disana mereka langsung mengutarakan maksud kedatangan mereka. Tanpa berpikir panjang Ibunda Alqomah bergegas memenuhi panggilan Rosululloh SAW walaupun berjalan tertatih-tatih menggunakan tongkat.

Sesampainya di rumah Rasululah, Ibunda Alqomah diberitahu mengenai keadaan anaknya. Namun ia terlihat biasa saja mendengar berita itu seolah tidak mau tahu tentang apa yang sedang dialami oleh Alqomah, putranya. Hal ini membuat Rasulullah SAW ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi antara ibu dan anak tersebut.
“Wahai Ibunda Alqomah….Aku ingin bertanya kepadamu dan jawablah pertanyaanku dengan jujur. Bagaimana penyaksian Ibu terhadap putra Ibu yang bernama Alqomah….?”

Ibunda Alqomah diam sejenak, lalu berkata….“Alqomah adalah seorang anak laki-laki yang ahli sholat, ahli puasa dan ahli shodaqoh…Akan tetapi….”Ibu Alqomah tidak meneruskan kalimatnya. Matanya berkaca-kaca seolah memendam suatu beban perasaan yang sangat berat.
“Akan tetapi apa…Ibu…?” tanya Rosululloh SAW.
“Aku sangat marah kepadanya…”Ibu Alqomah tidak dapat membendung air matanya. Ia menangis terisak-isak dihadapan Rosululloh SAW.
“Apa masalahnya….Ibu….?”
“Semenjak Alqomah menikah dengan perempuan yang dicintainya… ia mulai melupakan aku…. meremehkan aku…. ia lebih mementingkan kepentingan istrinya daripada aku. Ia lebih mendengar kata-kata istrinya daripada nasehatku. Padahal akukan ibunya… aku sangat sakit hati, karena Alqomah tidak pernah sedikitpun menyadari kesalahannya lalu minta maaf kepadaku… sampai sekarang aku tidak ridho kepadanya…”

Rasulullah SAW telah menemukan jawaban atas keadaan yang dialami Alqomah. Kemarahan ibunyalah yang menyebabkan Alqomah mengalami beratnya sakaratulmaut, karena lisannya tidak mampu melafadzkan kalimat “Laa ilaaha illalloh…”
“Wahai Bilal…” panggil Rosululloh SAW.
“Cari dan kumpulkan kayu bakar yang banyak”

Ibunda Alqomah merasakan sesuatu yang janggal dari ucapan Rosululloh. “Untuk apakah kayu bakar itu, wahai Rosululloh…apa yang akan kau perbuat terhadap Alqomah?”
“Membakarnya” jawab Rosululloh SAW singkat.
“Apa?! Wahai Rosululloh…betapapun marahnya aku kepada Alqomah, mana mungkin aku sampai hati kalau ia dibakar api…mohon jangan lakukan itu…”
“Tahukah Ibu…Adzab Alloh lebih mengerikan dan lebih kekal. Kalau memang Ibu ingin Alloh mengampuni dosa Alqomah, maka Ibu harus mau memaafkan semua kesalahan Alqomah terhadap Ibu lalu Ibu meridhoinya…Sebab semua ibadah yang telah dikerjakan Alqomah, seperti, sholat, berpuasa dan bersedekah, semua itu tidak ada artinya bagi Alqomah selama Ibu masih memendam amarah terhadapnya..”

Walau bagaimanapun, seorang ibu tetaplah ibu yang tidak mungkin tega melihat anaknya menderita. Ibunda Alqomah pun tidak rela kalau anaknya mendapat adzab dari Alloh.

“Baiklah wahai Rosululloh, aku bersaksi kepada Alloh dan para malaikatNya. Aku juga bersaksi dihadapan orang-orang iman yang hadir disini nahwa sekarang juga aku memaafkan semua kesalahan yang pernah dilakukan oleh Alqomah terhadapku…dan aku meridhoinya…”
“Bilal…!”
“Ya, Rasulullah…”
“Pergilah ke rumah Alqomah. Lihatlah, apakah ia sudah bisa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh….aku kuwatir jangan-jangan pernyataan Ibunda Alqomah tadi tidak berasal dari dalam hatinya melainkan hanyalah sungkan kepadaku”

Berangkatlah Bilal menuju rumah Alqomah. Begitu sampai didepan rumah ia menjumpai telah banyak orang-orang berdatangan. Tiba-tiba Bilal mendengar suara Alqomah dengan Faseh dan jelas melafadzkan kalimat Laa ilaaha illalloh…Sampai didalam rumah Bilal menjumpai Alqomah telah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Lalu Bilal berkata….“Wahai orang-orang yang hadir disini. Ketahuilah bahwa amarah ibunya telah menghalang-halangi Alqomah untuk membaca kalimat talkin. Dan sekarang berkat ridho ibunya ia bisa mengucapkan kalimat itu…”

Tak lama kemudian Rosululloh beserta orang-orang iman datang berta’ziyah. Mereka lalu memandikan, mengkafani dan mensholati jenazah Alqomah. Kemudian diantar beriringan oleh Rosululloh dan orang-orang iman menuju tempat pemakaman.

Pemakaman Alqomah pun selesai dilaksanakan. Sementara para pengantar masih berada ditempat pemakaman, Rosululloh SAW bersabda….“Wahai orang-orang iman, muhajir dan anshor……Siapa saja yang mengutamakan kepentingan istrinya hingga melalaikan ibunya, maka ia akan mendapatkan laknat Alloh, laknat para Malaikat dan laknat semua para manusia. Alloh tidak menerima amal ibadahnya, baik yang wajib maupun yang sunnah, kecuali jika ia bertaubat dan berbuat baik serta mencari ridho ibunya. Sebab ridho Alloh beserta ridhonya ibu dan murka Alloh beserta murkanya ibu”.

Cerita diatas menjelaskan betapa dahsyatnya ridho seorang ibu.

Hak-Hak Orang Tua

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً -٢٣- وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً -٢٤-
Dan Tuhan-mu telah Memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.

Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhan-ku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” (Al-Isra’ 23-24)

Dalam ayat ini, Allah melarang kita menyakiti orang tua sekecil apapun bentuknya. Bahkan hanya dengan ucapan “ah” sekalipun.

;فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ
janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah

وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً
“dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”

Menurut Imam Ja’far As-Shodiq, jika ada perkataan yang lebih ringan dari “ah” maka Allah akan menyebutkan kata itu. Sekecil apapun, kita dilarang keras untuk menyakiti orang tua. Mengapa Allah memberi penekanan khusus untuk berbakti kepada orang tua ketika telah lanjut usia?

Terkadang, ketika anak telah tumbuh besar, mandiri dan mampu. Dia merasa tak butuh lagi kepada orang tua. Akhirnya dia bersikap meremehkan dan merasa terganggu mendengar bermacam nasehat dan permintaan orang tuanya. Dia telah lupa bahwa dirinya yang hebat saat ini adalah berkat orang tuanya. Karena dia tidak akan lahir tanpa orang tua

Jangan sakiti orang tua kita dengan hal yang besar atau sekecil apapun. Ketahuilah, Allah swt menekankan pentingnya berbakti kepada orang tua karena bakti ini adalah hal yang sulit. Apapun perintahnya, jangan pernah kita tolak. Tetaplah menjawab mereka dengan perkataan yang sejuk dan menyenangkan.

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang”

Dan jangan lupa untuk mendoakannya di setiap waktu. Karena doa kita yang akan meringankan beban mereka ketika di Hari Pembalasan kelak. Secara mutlak, ayah dan ibu harus memperoleh penghormatan yang tinggi. Namun penghormatan kepada ibu harus lebih tinggi. Karena pengorbanan seorang ibu begitu besar untuk buah hatinya.

Dimulai dari masa kehamilan yang begitu berat. Sebagian ibu tak bisa makan, menderita saat terkena matahari dan bermacam kesulitan yang ia hadapi. Karena itu, Allah menyuruh kita untuk bersyukur kepada-Nya dan kepada orang tua. Karena seluruh kenikmatan Allah tidak akan sampai kepada kita tanpa melalui kedua orang tua.

مَا مِنْ مُسْلِمٍ لَهُ وَالِدَانِ مُسْلِمَانِ يُصْبِحُ إِلَيْهِمَا مُحْتَسِباً ، إِلَّا فَتَحَ لَهُ اللهُ بَابَيْنِ – يَعْنِي : مِنَ اْلَجَّنةِ – وَإِنْ كَانَ وَاحِدًا فَوَاحِدٌ ، وَإِنْ أَغْضَبَ أَحَدُهُمَا لَمْ يَرْضَ اللهُ عَنْهُ حَتَّى يَرْضَى عَنْهُ ، قِيْلَ : وَإِنْ ظَلَمَاهُ ؟ قَالَ : وَإِنْ ظَلَمَاهُ
“Tidak seorang pun dari kaum Muslimin yang mempunyai kedua orang tua beragama Islam yang berbakti kepada mereka berdua dengan mengharap pahala (dari Allah) melainkan Allah akan membukakan dua pintu –maksudnya pintu Surga- untuknya. Jika tinggal salah satu dari keduanya yang masih hidup, maka yang akan dibukakan adalah satu pintu. Jika dia menjadikan salah satu di antaranya marah, Allah tidak akan ridha (kepadanya) hingga orang tuanya ridha kepadanya.“ Lalu ada yang bertanya, “Meskipun kedua (orang tua)nya itu menzaliminya?” Ibnu Abbas menjawab, “Meskipun keduanya menzaliminya,” (Hasan dengan dua jalan. Said adalah rawi yang majhul)

Menurut Syaikh Dr. Muhammad Luqman as-Salafi, Rektor Universitas Islam Ibnu Taimiyah, Darussalam – India, dalam Syarah Adabul Mufrad menjelaskan beberapa hal terkait dengan hadits tersebut. Diantaranya: Maksud dari Wain Dzolamâhu adalah keduanya (orang tua) menzaliminya dalam berbagai perkara dunia.

Berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua adalah wajib, walaupun keduanya telah menzalimi anak dalam perkara dunia. Derajat hadits di atas dhâ’if, akan tetapi makna yang dikandungnya dapat dibenarkan. Jadi, kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua tetap harus ditunaikan meski kedua orang tua berbuat zalim.

“Dalam suatu kejadian, jika seseorang tanpa sadar lalai dan “marah” kepada kedua orangtuanya, sebagaimana kasus yang ditanyakan, maka ia harus segera memohon ampun kepada Allah Swt, serta meminta maaf dan keridhaan orangtuanya. Hati orangtua pada umumnya adalah hati yang lemah lembut dan pemurah; maka mereka pun akan mudah memaafkan kelalaian anak-anaknya, jika anak-anaknya tersebut meminta maaf kepada mereka

Dari keterangan tersebut, bisa dipahami bahwa kesalahan atau kedzaliman yang pernah dilakukan oleh orang tua kepada anaknya tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk marah kepada orangtuanya. Dengan kata lain, kita tetap wajib berbuat baik kepada kedua orangtua meski mereka pernah berbuat dzalim kepada kita anaknya. Semoga kita termasuk anak-anak yang berbakti kepada kedua orang tua kita . Âmîn Yâ Robbal ‘Âlamîn. Semoga aku menjadi hamba yang selalu diberi petunjuk kebenaran.

Air mata yang tak pernah berhenti mengalir dalam setiap do'anya yang beriisi kebaikan untukmu, lantas sebegitu angkuhnya dirimu melupakannya???

Monday, October 2, 2017

MENGHADAPI SENTILAN/EJEKAN KARENA BERHIJAB SYAR’I


Pagi ini aku iseng membuka sebuah akun sosmedku, kulihat ada sebuah notifikasi yang merupakan respon dari tag fotoku di upacara hari Kesaktian Pancasila yang berbarengan dengan hari Batik Nasional kemaren. Di foto itu aku memakai seragam batik, tetapi memang jilbabku sangat panjang sehingga batiknya hampir tidak terlihat. Komennya biasa saja namun jika mau didalami makna yang tersirat kalimat tersebut sebuah kritikan tentang khimarku yang terlalu panjang (alias berlebihan) sehingga blazer batikku tak nampak karenanya. Bisa jadi maknanya kalau berpakaian/berjilbab harus disesuaikan agar apa yang ingin ditampilkan nampak dipermukaan. Astaghfirullah...! Maafkan aku ya Allah ketika hati ini terasa berdetak membaca komen wanita itu.

Sambil terus beristighfar aku membalas komen tersebut “Jika manusia tak dapat melihat, biarlah Allah saja yang tahu saat itu saya memakai baju batik, karena saya sangat mencintai khimar panjangku”. Astaghfirullah...astaghfirullah...astaghfirullah. Aku terus beristighfar memohon ampun karena aku sempat terpancing emosi dengan kalimat-kalimatnya. Aku mohon ampun ya Allah. Aku mengetahui bahwa Islam tidak memberi celah sedikitpun bagi pengikutnya membalas ejekan orang lain. Walaupun demi untuk menyampaikan kebenaran, walaupun dengan alasan untuk “membela” Islam, Allah tidak pernah memberi izin untuk membalas ejekan. Al-Qur’an mengajarkan hanya ada satu cara untuk menghadapi pandangan sinis atau ejekan yaitu diam dan berpaling. Bahkan Allah melarang kita melayani orang-orang “bodoh” yang hanya bermodal cacian/ejekan.

وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ لَا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ -٥٥-
Dan apabila mereka mendengar perkataan yang buruk, mereka berpaling darinya dan berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, salam bagimu, kami tidak ingin (bergaul) dengan orang-orang bodoh.” (Al-Qashas 55)

Dan Allah berfirman lagi : 

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ -١٩٩-
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raf 199)

Memang ini bukan pertama kali aku menerima sikap agak kurang menyenangkan tentang caraku berhijab. Masih jelas dalam ingatanku saat itu aku travelling ke Turki bersama group yang terdiri dari wanita-wanita luar biasa (kaya, berkedudukan dan trendy dalam berbusana). Teringat ketika salah seorang dari mereka sempat ngomong agak keras padaku, “Echie jilbabmu itu terlalu panjang  ngeliatnya tuh riweh dan gak keren. Coba dipendekin atau dilipat begini (dia mengangkat dan melipat jilbab bagian depanku dan melampirkannya ke bahu”. Aku hanya tersenyum saja dan menurunkan kembali jilbab panjangku pada posisinya semula. 

Ini foto yang menuai komen, jilbabku terlalu panjang menutupi batiknya
Ini jilbab panjangku yang dibilang riweh dan gak keren
Lalu pernah ada kawan sekantor yang terang-terangan “nyablak” di depanku. Ihhhh...amit-amitlah aku blom mendekati mati untuk memakai jilbab panjang kayak seprai gitu. Masihlah pengen bergaya dulu. Suamiku jijik dan gak suka gaya jilbab seperti ustadzah, mirip emak-emak kampungan! Aku hanya diam dan tersenyum terhadap semua perlakuan itu. 

Ini jilbabku yang dibilang seprai
Tidak pahamkah ukhti bahwa HARAM hukumnya menghina/melecehkan/ mencibir/mengejek wanita yang berjilbab syar'i, jilbab lebar maupun bercadar, misalnya dengan sebutan ninja, setan, kemah berjalan, karung, gorden, taplak meja, seprei , kampungan, emak-emak hantu, teroris, ekstrimis,dll. Haram hukumnya menyakiti hati sesama muslim meskipun hanya bercanda, apalagi sungguh-sungguh/sengaja.

Wahai ukhti sesama muslimah, jika mau diuraikan sangat panjang proses hijrahku sampai mampu berjilbab syar’i seperti ini. Semua memerlukan usaha dan pelajaran yang banyak . Aku pernah memakai jilbab cekek, aku pernah memakai jilbab trendy ala Hijabers, mukaku selalu sempurna dengan polesan make up (alis, eyeshadow, blush on, lipstick) tetapi ketika aku sudah sangat paham landasan dalilnya inshaa Allah aku akan terus istiqomah seperti sekarang ini biarpun seperti emak-emak. Aku ikhlas meninggalkan semua yang menjadi keindahan dunia. Meski orang mengomentari mukaku pucat karena tanpa polesan make-up lagi aku tidak begitu risau. Bahkan aku dalam proses untuk mengenakan cadar/niqob. Ya Rabb...istiqomahkan hamba.

Sejarah panjang aku berhijab adalah dalam sebuah kajian aku mendengar ayat ini :

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al-Ahzâb/33:59].

Lantas dalam rangka terus memperbaiki diri untuk mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang sebenarnya yaitu kampung akhirat aku tak pernah lelah belajar untuk menyempurnakan hijabku. Aku mendapatkan kembali tuntunan bahwa  Allah berfirman, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak.” (An-Nur: 31)

Berdasar surat tersebut akupun kembali belajar tentang bagaimana jilbab yang sesungguhnya dipersyaratkan oleh aturan syariat Islam. Syaikh Al Albani rahimahullah pernah mengatakan, “Tujuan pakaian muslimah adalah agar tidak menggoda. Tujuan ini bisa tercapai hanya dengan wanita berbusana longgar. Adapun berbusana ketat walau itu menutupi warna kulit, namun masih menampakkan bentuk lekuk tubuh seluruhnya atau sebagiannya. Sehingga hal ini pun menggoda pandangan para pria. Dan sangat jelas hal ini akan menimbulkan kerusakan, tanpa diragukan lagi. Yang tepat adalah pakaian muslimah haruslah longgar (tidak ketat).” (Jilbab Al Mar-ah Al Muslimah fil Kitab was Sunnah, hal. 131).

Dari seluruh kajian yang pernah aku dapatkan maka kesimpulannya adalah sifat hijab yang syar’i harus memenuhi aturan di bawah ini : :
1. Hijab itu hendaknya menutupi seluruh badan dari atas kepala sampai di bawah mata kaki (wanita wajib memakai kaos kaki). 
2. Jilbab itu harus luas dan longgar sehingga tidak menampakan bentuk/lekuk tubuh dan anggota –anggota badan.
3. Kain jilbab harus tebal sehingga tidak menampakkan warna kulit atau yang lainnya.
4. Tidak bersifat menghias tubuh sehingga menarik pandangan para pria, karena tujuan hijab itu adalah menuupi keindahan tubuh.
5. Tidak menyerupai pakaian pria (celana)
6. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
7. Tidak mencolok dan menarik pandangan orang.
8. Tidak memakai pewangi atau minyak wangi yang tercium baunya.

“Apapun pendapat manusia tentang hijabku bukanlah suatu masalah karena aku sudah ikhlas melabuhkannya hanya karena Allah”(my Quote)

Setiap Muslim yang beriman kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan kebenaran agama-Nya wajib meyakini bahwa semua aturan yang ditetapkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala merupakan kemaslahatan, termasuk didalamnya yang berkaitan dengan kemaslahatan, kebaikan dan penjagaan bagi kesucian diri dan kehormatan para Muslimah yaitu pakaian dan perhiasan wanita Muslimah

Seorang wanita Muslimah yang telah mendapatkan anugerah hidayah dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk berpegang teguh dengan agama ini, hendaklah ia merasa bangga dalam menjalankan hukum-hukum syariat-Nya. Karena dengan itu, ia akan meraih kemuliaan dan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Dan semua itu jauh lebih agung dan utama dari pada semua kesenangan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), karunia Allâh dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)”. [Yûnus/10:58]


My Quotes