Tuesday, November 14, 2017

APAKAH MEMBACA AL QUR'AN LEWAT SMART PHONE DAPAT PAHALA?

Menjadi kebiasaan setiap hari sebelum memulai pekerjaan kantor aku selalu membaca Al Qur’an beberapa ayat melalui tablet (smart phone), seketika seorang teman kantor berkomentar kenapa membaca Al Qur’an via smart phone, kan tak ada pahalanya. Bukan sekali ini saja aku mendapat komentar seperti itu. 

Aku mencoba menjelaskan hukumnya tentang itu, termasuk alasan mengapa aku membaca Al Qur’an via smart phone. Pertama, aku sengaja karena tidak ingin orang lain tahu aku sedang membaca Al Qur’an, dari kejauhan hanya terkesan aku sedang membuka HP yang bisa dikonotasikan aku sedang baca message atau media sosial. Kedua, jika membawa Al Qur’an banyak persyaratan yang harus dipenuhi, seperti harus sangat berhati-hati menempatkan Al Qur’an agar tidak di tempat yang salah, berhati-hati untuk menyentuhnya dan sebagainya. Demikian juga ketika pergi ke majelis-majelis lain yang mengharuskan aku dengan sangat cepat menemukan ayat berapa, surat apa? Menggunakan smart phone akan dapat dengan cepat menemukan ayat dan surat saat ustadz memerintahkan, coba bunda buka surat... ayat... 

Itu saja sih alasan mengapa aku suka membaca Al Qur’an melalui smart phone. Jika di rumah  memang aku selalu membaca Al Qur’an melalui mushaf. Karena beberapa kali aku mendengar komentar seperti di atas, aku tergelitik mencari sumber dan informasi yang benar, khawatir komentar teman-teman di atas benar adanya.  Bagaimana hukumnya membaca Al Quran dari handphone? Apakah pahalanya sama dengan membaca Al Quran dari mushaf?  Mungkin perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian kata mushaf menurut istilah zaman sekarang ini. Mushaf adalah materi yang digunakan untuk mengumpulkan Al Quran yang sesuai dengan urutan ayat dan suratnya, dengan bentuk tulisan seperti pada mushaf yang disepakati umat islam di zaman khalifah Utsman bin Affan radhiallahu’anhu. 

Definisi di atas mencakup semua jenis mushaf. Baik mushaf kuno, seperti mushaf yang terbuat dari kertas, yang merupakan kumpulan lembaran, tertulis huruf-huruf al-Quran, yang ditutup dua sampul. Atau mushaf model baru seperti mushaf yang termuat dalam chip atau yang tersimpan di CD, termasuk (huruf) timbul yang digunakan dengan jarum Braille untuk menulis di kertas-kertas khusus penyandang tunanetra. 

Kemudian, apabila mushaf elektronik memiliki bentuk yang berbeda dengan mushaf lembaran kertas, baik susunannya dan penampilan hurufnya – dan seperti ini keadaan aslinya – maka yang semacam ini tidak dihukumi sebagaimana mushaf kertas, kecuali setelah aplikasi Al-Quran di alat ini dihidupkan, sehingga tampak ayat Al-Qurannya, yang tersimpan di dalam memori mushaf elektronik itu. 

Jika teks mushaf dalam alat telah nampak, dengan tulisan yang bisa dibaca, maka membaca mushaf ini seperti membaca mushaf di kertas. Akan mendapatkan pahala, sebagaimana yang dijanjikan dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ ﴿الم﴾ حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Barangaiapa yangmembaca satu huruf dari kitabullah (Al Qur’an) maka baginya satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatgandakan 10 kali lipat. Tidak kukatakan aliflammim itu satu huruf. Akantetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satuhuruf.” (Dikeluarkan At Tirmidzi Dalam Fadhailul Qur’an No 2910. Dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No 6469)

dan hadis dari Abdullahbin mas’ud secaramarfu’,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ فَلْيَقْرَأْ فِي الْمُصْحَف

“Barangsiapa yang ingin bahagia karena dirinya yakin telah mencitai Allah dan RasulNya maka hendaknya ia membaca dengan mushaf Al-Qur’an.” (Dikeluarkan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No 2027. Dinilai shahih oleh Al Albani dalam Assilsilah Ash Shahihah No. 2342) Serta hadis-hadis shahih lainnya yang menunjukkan keutamaan membaca Al-Qur’an dan memperbanyak bacaan Al-Quran.

Adapun larangan membawa mushaf elektronik ke dalam kamar mandi tanpa kebutuhan atau kondisi darurat, dipahami apabila aplikasi dalam alat itu atau dalam HP dalam keadaan hidup, dan menampilkan ayat-ayat al-Quran. Termasuk juga dalam larangan, menyentuhkan benda najis atau meletakkan najis di atasnya, atau mengotorinya dengan najis. Hal ini, karena status kemuliaan Al-Quran berlaku untuk alat tersebut, selama aplikasi dihidupkan dan tampak ayat-ayat dan surat-sutatnya.

Hanya saja, status larangan di atas menjadi hilang dari mushaf Al-Quran ini, ketika aplikasi Al-Quran dimatikan, dan tidak lagi nampak ayat-ayatnya dengan matinya tampilan di layar. Dan kondisi tidak diaktifkan, tidak terhitung mushaf, sehingga tidak dihukumi sebagaimana mushaf kertas.

Di sisi lain, boleh bagi orang yang sedang hadas kecil atau besar, menyentuh bagian HP atau peralatan lainnya, yang berisi aplikasi Al-Quran. Baik ketika sedang dimatikan, atau diaktifkan. Karena teks Al-Quran yang ada di mushaf elektronik yang tampil di layar HP hanya vibrasi huruf yang diproses secara harmonik. Di mana, dia tidak bisa tampil di layar, kecuali melalui aplikasi elektronik.

Oleh karena itu, menyentuh kaca layar, tidak dianggap menyentuh mushaf yang asli. Karena tidak bisa dibayangkan, bagaimana cara menyentuhnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Berbeda dengan mushaf kertas, menyentuh kertasnya atau hurufnya, termasuk menyentuh secara langsung. Untuk itu, tidak diperintah bagi orang yang mengalami hadas untuk bersuci ketika hendak menyentuh mushaf elektronik, selain sebatas kehati-hatian.

Sumber:http://ferkous.com/site/rep/Bq151.php




MENISBATKAN NAMA DIRI DENGAN NAMA SUAMI

Keinginan membuat artikel ini bermula ketika di dalam chat group WA  persatuan arisan RT lingkungan tempat aku tinggal , pengurus meminta seluruh anggota menuliskan nama satu persatu dengan tujuannya untuk membuat list nama anggota. Mulailah satu persatu anggota memberikan namanya. Bagus sih karena 3 dari peserta yang telah menulis nama memberikan nama asli mereka. Baru saja aku ikut memberikan namaku, terbaca reply chat siibu Ketua. Agar tulis nama lengkap yaitu cantumkan nama suami di belakang nama anda.

Entah apa yang membuat aku cukup berani menimpali permintaan tersebut. 
“ Dalam Islam haram hukumnya menisbatkan nama dengan nama suami. Tulis saja nama sendiri/nama suami, jika memang informasi nama suami memang dirasakan perlu untuk arisan ibu-ibu. Begitu lebih baik” . Masa bodoh apa tanggapan anggota group dengan kalimat tegasku itu. Aku hanya ingin menyatakan yang benar, karena fenomena penulisan nama suami di belakang nama isteri sudah menjadi hal yang awam, bahkan dianggap benar. 

Fenomena menuliskan nama suami di belakang nama seorang isteri memang sangat populer di berbagai kalangan. Bahkan dalam kelompok arisan/persatuan ibu-ibu komplek tempat aku tinggalpun dalam daftar nama anggota hampir semuanya menuliskan seperti itu. Selama ini mereka sudah salah menurutku. Yang membuat aku berani menyatakan dengan tegas melalui chat WA kemaren hanyalah karena perintah sang ibu ketua akan membuat semua anggota melakukan kesalahan. Bukankah 3 orang yang memberikan daftar nama pertama kali sudah benar? Kenapa disesatkan dengan perintah yang bertentangan dengan ajaran Islam? 

Dalam ajaran Islam seorang istri tidak boleh menambahkan nama suaminya atau nama keluarga suaminya yang terakhir setelah namanya sebagaimana banyak terjadi kepada non-muslim berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (3508) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ ، وَمَنْ ادَّعَى قَوْمًا لَيْسَ لَهُ فِيهِمْ – أي نسب - فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّا
رِ
Artinya: (tidaklah seseorang mendakwakan kepada selain ayahnya sedangkan dia mengetahuinya kecuali dia telah kafir, barangsiapa yang mendakwakan kepada suatu kaum sedangkan dia tidak memiliki nasab dari mereka, maka hendaklah dia memesan tempatnya dalam neraka).


وقال صلى الله عليه وسلم : ( مَنْ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ .. فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ) رواه ابن ماجة (2599) وصححه الألباني في صحيح الجامع (6104
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (Barangsiapa yang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya, maka baginya laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya) HR Ibnu Majah(2599) dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (6104).

Dalam dua hadits diatas ada ancaman keras bagi yang mengganti nama ayahnya atau keluarganya dan menisbatkan dirinya kepada keluarga atau kaum yang bukan asalnya. Disamping itu perbuatan ini juga merupakan tasyabuh (menyerupai) orang-orang kafir, karena tradisi yang tercela ini tidak pernah dikenal kecuali dari mereka, dan dari merekalah sebagian kaum muslimin yang awam mengadopsinya.

Dalam perbuatan itu juga ada unsur pengingkaran seorang wanita kepada keluarganya dimana hal itu bertentangan dengan sifat kebajikan, ihsan dan akhlak yang mulia. Sesungguhnya sangat banyak pengaruh dari tasyabuh dengan orang-orang barat dalam hal pemberian nama, diantaranya yang banyak terjadi sekarang ini yaitu dengan menghapus antara namanya dan bapaknya sebutan bin atau binti, yang dahulu sebabnya adalah karena sebagian keluarga mengangkat sebagian orang menjadi anak angkat, sehingga mereka menambahkan nama mereka dibelakangnya, maka jadilah mereka (fulan fulan), yaitu untuk membedakan anak kandung mereka yang dipanggil (fulan bin fulan), kemudian pada abad 14H mereka mulai menghapus sebutan bin atau binti dari anak kandung mereka dimana hal itu merupakan perkara yang diingkari baik secara bahasa, adat maupun syar’i.

Diantara pengaruh lain dari penisbatan istri kepada nama suaminya karena aslinya: bahwa seorang wanita haruslah dipanggil (fulanah binti fulan), bukan (fulanah istri fulan) meskipun kita tahu bahwa suami memiliki kedudukan sangat tinggi bagi istrinya, bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan seandainya sujud kepada manusia diperbolehkan niscaya seorang istri diperintahkan untuk sujud kepada suaminya.

Dalam hal ini Allah Ta’alaa berfirman:

{ ادعوهم لآبائهم هو أقسط عند الله } [ الأحزاب:5]
Artinya: (panggilah mereka kepada bapak-bapak mereka itu lebih adil disisi Allah) [QS Al-Ahzab:5].

Perintah ini tidak hanya berlaku di dunia tetapi juga di akhirat sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:


قال النبي صلى الله عليه وسلم " إن الغادر يرفع له لواء يوم القيامة ، يقال هذه غدرة فلان بن فلان " . رواه البخاري (5709) ، ومسلم (3265).
“Sesungguhnya pengkhianat akan dikibarkan untuknya bendera pada hari kiamat, lalu dikatakan inilah pengkhianatan fulan bin fulan” HR Imam Bukhari (5709) dan Muslim (3265).

Syeikh Bakr Abu Zaid hafidhohullah berkata: ini termasuk rahasia dalam syariat, karena penisbatan kepada bapak lebih kuat untuk dikenal, dan lebih dalam untuk dibedakan, karena bapak adalah yang memiliki hak kepemimpinan atas anaknya dan ibu anaknya di rumah dan di luar. Oleh karena itu bapak muncul dalam perkumpulan dan pasar-pasar, dan dia rela menempuh bahaya dalam safarnya untuk mendapatkan rizki yang halal dan berusaha demi kebaikan dan kelancaran urusan mereka, maka sangat pantas untuk menisbatkan anak kepadanya bukan kepada ibu-ibu mereka yang diperintahkan oleh Allah Ta’alaa dalam firman-Nya (Dan diamlah kalian dalam rumah kalian) [QS Al-ahzab:33]. Lihat kitab Tasmiyatul Maulud: 30.

Oleh karena itu: karena tidak adanya hubungan nasab antara suami dan istri maka bagaimana bisa ditambahkan kepada nasabnya, kemudian barangkali suatu saat dia dicerai, atau suaminya mati, lalu menikah dengan pria lain, maka apakah penisbatan kepada suaminya akan senantiasa berubah ketika dia hidup dengan pria lain ?

Ditambah lagi bahwa penisbatan kepada ayahnya berkaitan dengan hukum-hukum warisan, nafkah, kemahraman dan lain-kain maka penisbatannya kepada suaminya akan merusak semua itu. Kemudian ketika suami menisbatkan dirinya kepada bapaknya lalu apa kaitan istri dinisbatkan kepada bapak mertuanya ? Tentu ini adalah sesuatu yang menyimpang dari akal sehat dan kenyataan.

Tidak kita temukan dalam sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa istri dinisbatkan kepada suaminya, bahkan ini merupakan perkara baru yang tidak ditetapkan oleh syariat Islam, karena para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu para ibu kaum mukminin menikah dengan manusia yang paling mulia nasabnya namun tidak seorang dari mereka yang dinisbatkan kepada nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan mereka semua masih dinisbatkan kepada ayah mereka meskipun kafir, demikian pula para istri sahabat radhiallahu anhum dan yang datang setelah mereka tidak pernah mengganti nasab mereka. 

Kesimpulannya kita sebagai muslim yang memiliki jati diri, yang taat kepada Allah Ta’alaa dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendaklah menghindari hal-hal seperti ini karena adanya larangan tasyabuh dengan mereka apalagi biasanya hal itu hanya ditujukan untuk mencari sensasi.



Sumber : www.muslimah.or.id dan rumaysho.com