Aku sengaja mencari sumber tentang adab
menginap di rumah orang lain karena beberapa waktu lalu aku mengalami
sedikit trauma ketika bertamu dan diminta menginap. Sebenarnya dalam
prinsip hidup aku tak pernah mau menginap di rumah orang meski
saudara sekalipun. Bagaimanapun lebih baik tinggal di hotel, bahkan
aku ingat ketika aku menemani papa untuk silahturahim dengan keluarga
di Jakarta, susah payah aku membujuk papa untuk menginap di hotel
saja. Tapi tak berhasil akhirnya kami tetap menginap di rumah adek
kandungku di Cilegon.
Banyak penyebab yang membuat aku tidak mau menginap. Diantaranya :
- Tinggal di rumah orang itu kagok dan tak bebas. bukankah di saat travelling kita pasti capek seharian, pasti ingin langsung selonjoran/tidur? Nah hal ini tidak mungkin bisa kita lakukan jika kita numpang dan menginap di rumah orang entah itu saudara, teman atau siapapun. Minimal harus berbasa-basi cerita.
- Risih. Sebagai seseorang yang sudah berhijab syar'i, menginap di rumah orang akan sulit dalam menjaga hijab, yang paling pasti kita harus seharian benar pakai jilbab tanpa dilepas, kebayang gak sih harus seharian pakai jilbab, bahkan sampai di kamar sekalipun.
- Rasa was-was ada sesuatu yang bisa menjadi fitnah, jika teman kita tersebut punya suami, anak laki-laki atau ayah.
Mungkin hanya 3
item di atas yang bisa disebutkan, tetapi sebenarnya masih banyak
hal-hal kecil lain yang tak dapat aku tuliskan, misalnya saja membuat
tuan rumah jadi sibuk dsb.
Jadi aku sudah 3 kali menginap di rumah
teman, karena ditawari dan setengah terpaksa juga.
1. Aku menginap di rumah teman SMA,
seorang muslimah sejati yang tahu betul tentang adab-adab menerima
tamu. Aku dilayani seperti ratu. Semuanya dilayani sempurna. Aku
sendiri merasa kagok dengan pelayanan ini. Jadi gak enak hati.
Kenapa aku sampai menginap di rumahnya,
ceritanya begini. Sejak lulus SMA hanya akulah dari alumni kami yang
sekalipun tak pernah hadir di dalam pertemuan reuni. Temanku ini
berkali-kali menawari ikut dan aku selalu punya beribu alasan untuk
menolak (alasan akupun bukan dibuat-buat semua fakta). Namun pada
kali ini aku sedang tak punya alasan lagi. Kebetulan aku sudah
merencanakan cuti dan ingin liburan ke Bogor dengan teman yang lain
lagi. Sehingga hari yang ditentukan untuk reuni dan liburan itupun
matching banget.
Pada awalnya aku ragu dan khawatir
sekali untuk menginap di rumahnya karena dia kan punya suami dan
punya anak laki-laki. Hal ini menjadi hambatan besar buatku. Aku
galau dan berpikir keras bagaimana untuk menolak tawarannya. Akhirnya
aku keceplosan juga menolak dan aku kemukakan alasan keberatanku,
salah satunya tak enak dan risih sama suaminya. Termasuk tentang jaga
hijab dsb.
Saat itu dia bilang tak usah khawatir
Esi, suaminya buta karena mengidap diabetes akut. Ohh... ..? Akhirnya
jadilah aku menginap
2. Pengalaman kedua adalah menginap di
rumah teman yang tadi aku ceritakan ingin berlibur dengannya. Agak
nyaman sih, karena temanku ini masih single dan dia punya rumah
sendiri. Namun gak nyaman-nyaman banget juga sih. Karena pola hidup
orang lain kan berbeda dengan diri kita.
3. Ketiga kali aku kembali diajak
menginap oleh teman yang no 2 di atas. Efek liburan 1 hari di kawasan
puncak bulan Juli lalu menyenangkan maka kami kembali merencanakan
libur dan rekreasi ke Bandung. Aku mau saja diajak menginap. Namun
diluar prediksi aku tidak tidur di rumahnya sendiri melainkan
menginap di rumah orang tuanya. Aku kaget dan sebenarnya agak kecewa,
namun dia pasti punya alasan tersendiri mengapa aku tidak diajak ke
rumahnya. Entahlah...
Inilah pengalaman menginap yang paling
membuat aku trauma. Aku ditempatkan tidur di lantai bawah rumahnya,
sedangkan dia bersama ibu, dan 3 saudara perempuannya di lantai atas.
Pada awalnya aku hanya ngeri dan takut sendiri. Jadi tak nyenyaklah
tidurku. Untung hanya 1 malam karena keesokan harinya kami berangkat
ke Bandung dan menginap selama 2 malam.
Sepulang dari Bandung aku kembali
menginap di rumahnya. 2 malam pula, karena aku tidak memprediksi
kalau aku akan menginap di rumah orang tuanya. Disinilah tragedi itu
terjadi. Aku baru tahu bahwa kamar yang aku tempai itu adalah kamar
bapaknya. Pas aku kaget, kakak perempuannya bilang nanti gantian
"Abah" yang menginap di rumahnya. Ternyata itu cuma omongan
saja. Ketika tengah malam aku bangun ke kamar mandi buat wudhu untuk
Tahajud aku kaget melihat Abahnya tidur di kursi ruang tamu. Jadi
dilantai bawah ini hanya ada aku dan Abah,. Ini hal yang paling aku
takuti. Aku berasa jijik tidur di kamar yang peruntukan laki-laki.
Menghabiskan 2 malam itu rasanya beban sekali bagiku.
Dimalam terakhir aku menginap ibunya
yang mengidap gangguan jiwa menjadi kambuh berat. Sejak menjelang
Ashar dia ngamuk, berteriak-teriak, ngoceh dan menceracau tak jelas,
sehingga suara TV, pembicaraan tak terdengar lagi. Suasana menjadi
sangat tegang dan aku sesak rasanya. Aku bicara pada temanku itu ,
"Kok mama jadi kacau ya seharian ini. Sepertinya ada sesuatu
yang membuat dia sangat tertekan sehingga emosinya semakin tak
terkendali". Temanku dan saudara-saudaranya cuma bilang ahhh
sudah biasa kok. Loh bukankah di malam pertama tidak seperti ini
kondisinya. Malam itu mungkin sampai hampir jam 2 malam aku tertidur
juga karena lelah. Bangun subuh kembali aku mendengar ceracau
mamanya. Artinya dia gak berhenti dong!
Ini hari terakhir aku di rumahnya. Jam
12 siang aku akan pulang. Dan aku kaget setelah ku dengar secara
rinci apa yang diocehkan oleh mamanya. Ada kata pelacur, sundel
bolong dsb. Dia seperti kesal kepada wanita, dan menurut cerita kakak
perempuan temanku bahwa mamanya mengidap gangguan jiwa disebabkan
oleh kecemburuan tak berujung pangkal pada abahnya. Aku cuek saja
.... Tapi tanpa sengaja kakak temanku bilang bahwa mamanya ngamuk
karena dia menuduh aku istri simpanan abahnya. Innalillahi wa inna
ilaihi rojiuun....
Apa yang aku khawatirkan terjadi.
Fitnah dan tuduhan itu... padahal tidak terjadi apa-apa antara aku
dan abah. Namun aku berpikir logis, wajar saja mamanya cemburu. Aku
di lantai bawah hanya berdua dengan abah, dan aku ditempatkan di
kamar tidur abah. Wajar... Temanku itu saja yang tak wajar
menempatkan aku. Sejak hari pertama aku tahu bahwa abah itu tidak
pindah ke rumahnya temanku bahkan aku tahu beliau malah tidur di
ruang tamu yang juga berada di lantai bawah, aku sudah sangat takut
dan sangat tidak nyaman. Aku tak bisa protes dan tidak berani bicara.
Aku hanya menghitung jam agar hari segera berlalu dan ingin cepat
pulang.
Sebelum ini aku sudah sangat sering
membaca, atau mendengar tausiyah tentang adab menginap dan bertamu ke
rumah orang lain. Jadi itulah mengapa aku tak pernah mau menginap di
rumah orang lain bahkan saudara atau family sekalipun. Selama ini aku
selalu ke hotel, dan kejadian buruk ini terjadi untuk menjadi
pelajaran bagi aku. Hal ini membuat aku sangat trauma, meskipun yang memaki itu orang gila namun kata-katanya sangat menyakitkan dihatiku. Pelacur, sundel bolong. Astaghfirullah...! Ya Allah.....! Lain kali harus bersikap tegas dan berani berkata
"TIDAK", serta selalu percaya dengan suara hati nurani.
Bila ragu batalkan!
Add caption |