Thursday, January 10, 2019

BERTAMU DAN MENGINAP DI RUMAH ORANG LAIN

Aku sengaja mencari sumber tentang adab menginap di rumah orang lain karena beberapa waktu lalu aku mengalami sedikit trauma ketika bertamu dan diminta menginap. Sebenarnya dalam prinsip hidup aku tak pernah mau menginap di rumah orang meski saudara sekalipun. Bagaimanapun lebih baik tinggal di hotel, bahkan aku ingat ketika aku menemani papa untuk silahturahim dengan keluarga di Jakarta, susah payah aku membujuk papa untuk menginap di hotel saja. Tapi tak berhasil akhirnya kami tetap menginap di rumah adek kandungku di Cilegon.

Banyak penyebab yang membuat aku tidak mau menginap. Diantaranya :
  1. Tinggal di rumah orang itu kagok dan tak bebas. bukankah di saat travelling kita pasti capek seharian, pasti ingin langsung selonjoran/tidur? Nah hal ini tidak mungkin bisa kita lakukan jika kita numpang dan menginap di rumah orang entah itu saudara, teman atau siapapun. Minimal harus berbasa-basi cerita.
  2. Risih. Sebagai seseorang yang sudah berhijab syar'i, menginap di rumah orang akan sulit dalam menjaga hijab, yang paling pasti kita harus seharian benar pakai jilbab tanpa dilepas, kebayang gak sih harus seharian pakai jilbab, bahkan sampai di kamar sekalipun.
  3. Rasa was-was ada sesuatu yang bisa menjadi fitnah, jika teman kita tersebut punya suami, anak laki-laki atau ayah.

Mungkin hanya 3 item di atas yang bisa disebutkan, tetapi sebenarnya masih banyak hal-hal kecil lain yang tak dapat aku tuliskan, misalnya saja membuat tuan rumah jadi sibuk dsb.

Jadi aku sudah 3 kali menginap di rumah teman, karena ditawari dan setengah terpaksa juga.
1. Aku menginap di rumah teman SMA, seorang muslimah sejati yang tahu betul tentang adab-adab menerima tamu. Aku dilayani seperti ratu. Semuanya dilayani sempurna. Aku sendiri merasa kagok dengan pelayanan ini. Jadi gak enak hati.

Kenapa aku sampai menginap di rumahnya, ceritanya begini. Sejak lulus SMA hanya akulah dari alumni kami yang sekalipun tak pernah hadir di dalam pertemuan reuni. Temanku ini berkali-kali menawari ikut dan aku selalu punya beribu alasan untuk menolak (alasan akupun bukan dibuat-buat semua fakta). Namun pada kali ini aku sedang tak punya alasan lagi. Kebetulan aku sudah merencanakan cuti dan ingin liburan ke Bogor dengan teman yang lain lagi. Sehingga hari yang ditentukan untuk reuni dan liburan itupun matching banget.

Pada awalnya aku ragu dan khawatir sekali untuk menginap di rumahnya karena dia kan punya suami dan punya anak laki-laki. Hal ini menjadi hambatan besar buatku. Aku galau dan berpikir keras bagaimana untuk menolak tawarannya. Akhirnya aku keceplosan juga menolak dan aku kemukakan alasan keberatanku, salah satunya tak enak dan risih sama suaminya. Termasuk tentang jaga hijab dsb.

Saat itu dia bilang tak usah khawatir Esi, suaminya buta karena mengidap diabetes akut. Ohh... ..? Akhirnya jadilah aku menginap

2. Pengalaman kedua adalah menginap di rumah teman yang tadi aku ceritakan ingin berlibur dengannya. Agak nyaman sih, karena temanku ini masih single dan dia punya rumah sendiri. Namun gak nyaman-nyaman banget juga sih. Karena pola hidup orang lain kan berbeda dengan diri kita.

3. Ketiga kali aku kembali diajak menginap oleh teman yang no 2 di atas. Efek liburan 1 hari di kawasan puncak bulan Juli lalu menyenangkan maka kami kembali merencanakan libur dan rekreasi ke Bandung. Aku mau saja diajak menginap. Namun diluar prediksi aku tidak tidur di rumahnya sendiri melainkan menginap di rumah orang tuanya. Aku kaget dan sebenarnya agak kecewa, namun dia pasti punya alasan tersendiri mengapa aku tidak diajak ke rumahnya. Entahlah...

Inilah pengalaman menginap yang paling membuat aku trauma. Aku ditempatkan tidur di lantai bawah rumahnya, sedangkan dia bersama ibu, dan 3 saudara perempuannya di lantai atas. Pada awalnya aku hanya ngeri dan takut sendiri. Jadi tak nyenyaklah tidurku. Untung hanya 1 malam karena keesokan harinya kami berangkat ke Bandung dan menginap selama 2 malam.

Sepulang dari Bandung aku kembali menginap di rumahnya. 2 malam pula, karena aku tidak memprediksi kalau aku akan menginap di rumah orang tuanya. Disinilah tragedi itu terjadi. Aku baru tahu bahwa kamar yang aku tempai itu adalah kamar bapaknya. Pas aku kaget, kakak perempuannya bilang nanti gantian "Abah" yang menginap di rumahnya. Ternyata itu cuma omongan saja. Ketika tengah malam aku bangun ke kamar mandi buat wudhu untuk Tahajud aku kaget melihat Abahnya tidur di kursi ruang tamu. Jadi dilantai bawah ini hanya ada aku dan Abah,. Ini hal yang paling aku takuti. Aku berasa jijik tidur di kamar yang peruntukan laki-laki. Menghabiskan 2 malam itu rasanya beban sekali bagiku.

Dimalam terakhir aku menginap ibunya yang mengidap gangguan jiwa menjadi kambuh berat. Sejak menjelang Ashar dia ngamuk, berteriak-teriak, ngoceh dan menceracau tak jelas, sehingga suara TV, pembicaraan tak terdengar lagi. Suasana menjadi sangat tegang dan aku sesak rasanya. Aku bicara pada temanku itu , "Kok mama jadi kacau ya seharian ini. Sepertinya ada sesuatu yang membuat dia sangat tertekan sehingga emosinya semakin tak terkendali". Temanku dan saudara-saudaranya cuma bilang ahhh sudah biasa kok. Loh bukankah di malam pertama tidak seperti ini kondisinya. Malam itu mungkin sampai hampir jam 2 malam aku tertidur juga karena lelah. Bangun subuh kembali aku mendengar ceracau mamanya. Artinya dia gak berhenti dong!

Ini hari terakhir aku di rumahnya. Jam 12 siang aku akan pulang. Dan aku kaget setelah ku dengar secara rinci apa yang diocehkan oleh mamanya. Ada kata pelacur, sundel bolong dsb. Dia seperti kesal kepada wanita, dan menurut cerita kakak perempuan temanku bahwa mamanya mengidap gangguan jiwa disebabkan oleh kecemburuan tak berujung pangkal pada abahnya. Aku cuek saja .... Tapi tanpa sengaja kakak temanku bilang bahwa mamanya ngamuk karena dia menuduh aku istri simpanan abahnya. Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun....

Apa yang aku khawatirkan terjadi. Fitnah dan tuduhan itu... padahal tidak terjadi apa-apa antara aku dan abah. Namun aku berpikir logis, wajar saja mamanya cemburu. Aku di lantai bawah hanya berdua dengan abah, dan aku ditempatkan di kamar tidur abah. Wajar... Temanku itu saja yang tak wajar menempatkan aku. Sejak hari pertama aku tahu bahwa abah itu tidak pindah ke rumahnya temanku bahkan aku tahu beliau malah tidur di ruang tamu yang juga berada di lantai bawah, aku sudah sangat takut dan sangat tidak nyaman. Aku tak bisa protes dan tidak berani bicara. Aku hanya menghitung jam agar hari segera berlalu dan ingin cepat pulang.

Sebelum ini aku sudah sangat sering membaca, atau mendengar tausiyah tentang adab menginap dan bertamu ke rumah orang lain. Jadi itulah mengapa aku tak pernah mau menginap di rumah orang lain bahkan saudara atau family sekalipun. Selama ini aku selalu ke hotel, dan kejadian buruk ini terjadi untuk menjadi pelajaran bagi aku. Hal ini membuat aku sangat trauma, meskipun yang memaki itu orang gila namun kata-katanya sangat menyakitkan dihatiku. Pelacur, sundel bolong. Astaghfirullah...! Ya Allah.....!  Lain kali harus bersikap tegas dan berani berkata "TIDAK", serta selalu percaya dengan suara hati nurani. Bila ragu batalkan!

Add caption