Wednesday, November 2, 2016

SUAMI TIDAK MENAFKAHI KELUARGA

Seperti biasa pagi minggu aku selalu nongkrong di depan pagar rumah karena harus belanja sayur di penjual sayuran keliling komplek langganan aku. Tidak ngariung seperti cerita-cerita sinetron itu loh. Cuma aku sendiri yang belanja karena tetangga kiri-kanan ibu rumah tangga sejati jadi bisa beli tiap hari, lagipula penjual sayur langgananku ini nampaknya tidak banyak pelanggannya karena memang harganya agak lebih tinggi. Aku suka ke penjual ini karena sayurannya bagus dan bisa order apa saja untuk dibawakan minggu depannya (karena aku belanja seminggu sekali)

Sambil membersihkan ikan dan ayam yang telah kupilih, kami berbincang iseng. Dinulai dari “bibik” (begitulah panggilan di daerah kami untuk para penjual) mengajak bicara menanyakan anakku dan sebagainya. Sampai akhirnya aku balik bertanya berapa jumlah anaknya. Dia menjawab 2 orang lantas dia meneruskan ceritanya bahwa dia harus bekerja untuk menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya. Balik aku bertanya kemana suami bibik. Di dusun. Secara aku gitu loh, menyusul pertanyaan-pertanyaan berikutnya.

Akhirnya si “bibik” curhat, bahwa dari ibu bapaknya dia memang sudah miskin, untuk meneruskan seklolah ke SMA saja bapaknya tidak mampu. Maka tamat SMP akhirnya dia menikah. Tidak beruntungnya sang suami adalah seorang yang pemalas. Cuma “hardolin” (makan, minum, tidur dan main gaple, ini memang jadi kebiasaan lelaki di dusun alias di kampung). Belum lagi suaminya suka memukul isteri sampai memar jika ia minta uang tidak diberi. Akhirnya karena tidak tahan si bibik minggat ke Palembang bersama 2 orang anaknya. Itulah sejarah awalnya dia berjualan sayur keliling untuk menghidupi diri dan anak-anaknya. Suaminya tidak pernah mencari mereka ataupun mengirim uang. Mereka tidak pernah bercerai dengan alasan si bibik tidak punya uang dan tidak mengerti bagaimana mengurus proses perceraian di pengadilan agama. Kasiannnn.... Aku bilang, “harus diurus loh bik, karena rugi di bibik sendiri, misal mau menikah lagi kan tidak bisa karena status bibik belum jelas, meskipun bibik sudah berpisah dan tidak saling bertemu selama 4 tahun lebih”. Mendengar omonganku si bibik langsung menjawab, “ahhhhhh....aku tak mungkin dan tak mau nikah lagi. Trauma...!.

Di dalam hati aku bertasbih, sebenarnya kisah kita tidak jauh berbeda bik, bedanya hanyalah aku punya pekerjaan yang baik. Hmmmmm... banyak sih cerita yang beginian yang sempat aku dengar, bahkan banyak teman-temanku yang suami-suaminya tidak menafkahi keluarga mereka. Beruntungnya mereka masih bertahan dalam rumah tangganya karena masih ada sisi baik suami mereka, seperti sayang isteri dan mau mengalah. Sepertinya hal ini menjadi trend belakangan ini, lelaki mencari istri wanita yang tajir.

Aku jadi mengkilas balik perjalanan rumah tanggaku masa silam. Yang begitu rusuh dan menyakitkan. Seorang suami yang di hari pertama setelah pernikahan mengadili aku untuk memaksa aku menyerahkan buku tabunganku (bahkan sebelum pernikahanpun telah memeras habis isi tabunganku). Dia sangat murka ketika melihat saldo di tabunganku hanya 2 juta rupiah. Itupun uang didapat dari adik kandungku sebagai hadiah pernikahan. Lantas kembali dia memaksa aku meyerahkan seluruh perhiasan emas yang kumiliki (terutama kalung panjang yang kupakai saat ijab kabul, padahal kalung dan liontin emas itu milik ibu) Bukankah seluruh tabungan dan perhiasan emasku sudah dijarah habis oleh dia sendiri saat kehabisan uang ketika bangun rumahnya?

Belum bisa aku lupakan saat dia melemparkan buku tabungan itu ke mukaku sambil meludahi mukaku seraya berteriak “Cuma 2 juta????? Nyesel aku kawin dengan perempuan miskin yang hanya bawa n.n.k seperti kamu”. Aku menunduk dan menangis dalam hati. Bayangkanlah itu di hari Senin sehari setelah pernikahanku hari Minggu kemaren. Dan selama 6 tahun pernikahan dia sama sekali tidak pernah memberikan uang belanja dan apapun. Belum cukup sampai disitu dia bahkan tidak punya rasa malu meminta uang insentif dan bonus agar diserahkan padanya. Aku ikuti maunya, karena bila tidak dia akan mencaci maki aku. Aku tunduk dan diam...atas perbuatan ini.

Pada tahun ke-6 perkawinan terjadi keributan besar diantara kami dan terpaksa bapak kandungku menengahi. Aku mengungkapkan apa penyebab pertengkaran itu. Dia yang selalu mencurigai aku mengenai keuangan padahal selama pernikahan dia sama sekali tidak pernah memberi uang sepeserpun. Bapakku menengahi dan menasihati dia, bahwa nafkah itu tanggung jawab suami. Setelah peristiwa itu dia memberikan uang sekadarnya saja (aku sudah sangat bersyukur dengan perubahan ini), meskipun dengan pemberian uangnya ini penderitaanku semakin bertambah. Dengan uang sebesar 1 juta perbulan (gajinya hampir 8 jutaan) dia semakin semena-mena. Dia menganggap bahwa dengan uang sebesar itu dia telah berperan sangat besar, dan seluruh kebutuhan keluarga harus terpenuhi. Padahal untuk uang terapi autis Nabila perbulan saja 750 ribu dan ongkos antar jemput terapi sebesar 450 ribu.

Disaat dia butuh uang untuk bezuk temannya sakit, untuk beli rokok semua harus tersedia, bahkan kadang tanpa rasa malu dia tega mengambil sekotak besar (se pack) rokok untuk dimasukkan dalam nota belanjaku saat belanja bulanan. Aku tidak pernah komplain sedikitpun dengan keadaan ini. Selagi uang gajiku masih ada ayo aja dipakai buat kebutuhan rumah tangga ini (Lebih sering hanya karena tidak mau ribut jika uangku habis aku meminjam pada mamaku). Dalam 6 tahun 6 bulan masa pernikahan inilah yang aku perjuangkan supaya damai, supaya tidak ribut-ribut. Dan pada akhirnya kami bercerai yang menjadi sebab utamanya bukanlah karena masalah uang melainkan kekejaman dan kedzalimannya terhadap aku.

Berkaca dari kejadian-kejadian ini aku berusaha mencari tentang kewajiban suami menafkahi keluarga dipandang secara tuntunan agama Islam. Inilah yang aku dapatkan :

Sesungguhnya rasa kasih-sayang di antara suami-isteri hampir-hampir tidak ditemui bandingannya. Dua jenis manusia, pada mulanya tidak saling mengenal, kemudian Allah mempertemukan keduanya, sehingga terjalin hubungan yang melebihi seorang saudara dengan saudaranya, seorang kawan dengan kawannya. Maka ini termasuk salah satu tanda kekuasaan Allah yang mengagumkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah, Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar Ruum / 30:21)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Bani Adam (manusia) semuanya laki-laki, dan menjadikan wanita-wanita (isteri-isteri) mereka dari jenis selain mereka, mungkin dari jin atau binatang, maka tidak akan terjadi persatuan antara mereka dengan isteri-isteri mereka. Bahkan pasti akan terjadi keengganan, seandainya isteri-isteri itu bukan dari jenisnya. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat Allah terhadap Bani Adam, bahwa Dia menciptakan isteri-isteri mereka dari jenis mereka sendiri, dan menjadikan di antara mereka rasa kasih, yaitu kecintaan, dan rahmat, yaitu sayang. Karena seorang laki-laki menahan isterinya, kemungkinan kecintaannya kepada isterinya, atau karena sayangnya, karena dia telah memiliki anak darinya, atau karena dia membutuhkan nafkah darinya, atau karena keakraban antara keduanya, atau lainnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.

Oleh karena itulah, kasih-sayang yang telah tumbuh di antara pasangan suami-isteri itu, selayaknya dijaga dan dikembangkan, sehingga tidak layu dan akhirnya sirna. Dari sini kita mengetahui keagungan syari’at Allah Azza wa Jalla yang menerangkan hak dan kewajiban suami-isteri.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Al Baqarah / 2:228)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yaitu, mereka (para isteri) memiliki hak yang menjadi kewajiban para laki-laki (suami), maka hendaklah setiap satu dari keduanya menunaikan kewajibannya kepada yang lain dengan baik”.

Di antara hak terbesar wanita yang menjadi kewajiban suaminya adalah nafkah. Nafkah, secara bahasa adalah, harta atau semacamnya yang diinfaqkan (dibelanjakan) oleh seseorang. Adapun secara istilah, nafkah adalah, apa yang diwajibkan atas suami untuk isterinya dan anak-anaknya, yang berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan, dan semacamnya.

Nafkah bagi isteri ini hukumnya wajib berdasarkan al Kitab, as Sunnah, dan Ijma’.

Disebutkan dalam al Qur`an :

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” (Al Baqarah / 2:233)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, : “Dan kewajiban ayah si anak memberi nafkah (makan) dan pakaian kepada para ibu (si anak) dengan ma’ruf (baik), yaitu dengan kebiasaan yang telah berlaku pada semisal para ibu, dengan tanpa israf (berlebihan) dan tanpa bakhil (menyempitkan), sesuai dengan kemampuannya di dalam kemudahannya, pertengahannya, dan kesempitannya”

Sebenarnya Islam memandang nafkah untuk istri ini seperti apa? Jika para suami menelaah satu saja ayat Al Qur’an tentu ia akan memahami fungsinya sebagai kepala rumah tangga. “Wajib bagi setiap suami untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada istri, dengan sepantasnya.” (Q.S. Al-Baqarah:233)

Wajib disini mengandung pengertian sederhana namun tegas, jika tak ada yang lebih pantas menafkahi istri dan anak-anaknya, memberikan pakaian, perumahan, mencukupinya makan dan beberapa kebutuhan pokok lainnya, melainkan semuanya dalam tanggungan suaminya. Jika suami dalam keadaaan kurang mampu menanggungnya, maka jika istri bekerja untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarganya, maka itu terhitung sebagai sedekah untuk keluarga, bukan sebagai ‘pemberi pokok’, kecuali jika suami sakit keras atau tidak ketahuan di mana keberadaannya, atau dalam keadaan darurat lainnya, seperti karena suatu hal harus mendekam di penjara.

1.Suami wajib memberikan nafkah kepada istri, baik lahir maupun batin. Melalaikan hal ini berarti perbuatan zalim, mengingkari ayat-ayat Allah. Jika seorang suami tetap mengabaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada keluarganya sehingga si istri harus menafkahi sendiri kebutuhan diri dan keluarganya dengan hartanya maka biaya yang dikeluarkannya selama itu menjadi utang yang harus dibayar oleh suaminya. Suami tetap diwajibkan membayar utang tersebut walaupun hal itu terjadi selama bertahun-tahun lamanya selama si istri belum merelakannya.

2.Seorang suami yang mampu bekerja dengan baik dan menghasilkan uang yang sangat cukup, maka ia wajib memberikan nafkah secara layak kepada istri dan keluarga. Sedang suami yang tidak memberikan nafkah kepada istri dengan tidak layak padahal ia bisa memberikannya, maka suami telah melakukan perbuatan zalim kepada istrinya. Dan tentulah zalim itu adalah perbuatan dosa.

3.Jika suami bakhil, pelit terhadap istrinya dan tidak memberikan nafkah tersebut secara layak, padahal ia mampu memberikannya, dan suami hanya menumpuk harta dan kekayaannya untuk kepentingannya sendiri dan melalaikan kepentingan pokok istri dan keluarganya, maka hal tersebut sangat menjadi perhatian Rasulullah:

Dari ‘Aisyah bahwa Hindun binti ‘Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku, Pen) seorang laki-laki yang bakhil. Dia tidak memberi (nafkah) kepadaku yang mencukupi aku dan anakku, kecuali yang aku ambil darinya sedangkan dia tidak tahu”. Maka beliau bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan patut.”(HR Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714) Hadits tersebut mengisyaratkan, sebenarnya ada bagian dari istri untuk harta suami untuk nafkahnya juga kehidupan keluarga dan jumlahnya pun sewajarnya. Istri bahkan boleh mengambil harta suami tanpa izin, sesuai dengan kebutuhannya.

4.Jika Suami tidak bisa memberikan harta karena dalam kesusahan atau kemiskinan, maka istri dianjurkan untuk ridha sekaligus bersabar dengan itu, dan sebaiknya istri membantu untuk mencari nafkah keluarga.

5.Istri yang bekerja dan mempunyai penghasilan, jika ia memberikan penghasilannya untuk membantu keperluan keluarga, maka itu hanya sebagai sedekah saja, dan itu tetap menjadi penghasilan dan harta istri, tak ada kewajiban (sebenarnya) dalam membantu keluarga dengan uang atau harta tersebut, hingga suami sebenarnya sama sekali tidak boleh menguasai harta atau mengambil harta istrinya tanpa izin istrinya.

Hal ini diperkuat dengan dalilnya: hadis dari Abu Said Al-Khudri, bahwa suatu ketika, Zainab (istri Ibnu Mas’ud) hendak membayar zakat perhiasan yang dia miliki. Kemudian beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bolehkah istri memberikan zakatnya kepada suaminya dan anak yatim dalam asuhannya?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ya, silakan. Dia mendapat dua pahala: pahala menjaga hubungan kekerabatan dan pahala bersedekah.” (HR. Bukhari 1466)

Dalam hal ini tersirat jika kondisi diatas menandakan jika istri Ibnu Mas’ud sangat kaya raya, dan suaminya adalah orang miskin. Ini menunjukkan jika Ibnu Mas’ud sama sekali tidak menguasai harta istrinya, meski dia adalah seorang yang miskin. Dan Istrinya juga memiliki dedikasi baik, terbukti untuk memberikan sebagian hartanya sebagai zakat maal untuk suaminya itu. Jadi sangat jelas kewajiban nafkah itu sebenarnya ada di pundak suami.

Kebutuhan nafkah itu memang kewajiban suami, melalaikan kewajiban itu adalah sesuatu yang zalim. Jika istri bekerja, itu memang melakukan tugas untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga atau untuk menerapkan ilmunya dan membantu sesamanya.

Penghasilan istri adalah mutlak milik istrinya. Jika ia membagi penghasilan itu untuk keluarga, itu sebagai sedekah baik untuknya, suami dilarang mengotak-atik harta istri tanpa ridhanya, bahkan sebaliknya istri tak perlu membutuhkan ridha suami saat suami melalaikan nafkah keluarga dan istri saat ia berpunya, atau mampu menafkahi dengan layak, dengan catatan harus dengan ma’ruf, mengambil sesuai dengan kebutuhan.

Segeralah bertobatlah suami-istri apabila keduanya sudah berbuat tidak ma’ruf dalam kehidupan rumah tangga dalam masalah nafkah, karena itu kezaliman yang amat dekat dengan neraka.

فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

Artinya : ”Menggenggam (istri) dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqoroh : 229)

Pada ayat diatas Allah memberikan dua pilihan kepada seorang suami antara menggenggam dengan cara yang ma’ruf yaitu memberikan nafkah kepadanya atau menceraikannya dengan cara yang baik pula jika dirinya tidak bisa memberikan nafkah kepadanya.

Adapun dalil-dalil dari as Sunnah, antara lain:

عَنْ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ

“Dari Mu’awiyah al Qusyairi Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang dari kami yang menjadi kewajiban suaminya?” Beliau menjawab,”Engkau memberi makan kepadanya, jika engkau makan. Engkau memberi pakaian kepadanya, jika engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul wajahnya, janganlah engkau memburukkannya, dan janganlah engkau meninggalkannya kecuali di dalam rumah”. (HR Abu Dawud, no. 2142; Ibnu Majah, no. 1850; Syaikh al Albani mengatakan: “Hasan shahih”).

Pada saat haji wada’ , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah:

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف

“Bertakwalah kamu kepada Allah tentang para wanita (isteri), karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan kamu telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah [6]. Dan kamu memiliki hak yang menjadi kewajiban mereka (para isteri), yaitu mereka tidak memperbolehkan seorangpun yang tidak kamu sukai menginjakkan permadani-permadani kamu [7]. Jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Dan mereka memiliki hak yang menjadi kewajiban kamu, yaitu (kamu wajib memberi) rizki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik)”. (HR Muslim, no. 1218)

Islam menganggap dosa besar bagi seorang suami yang mengabaikan kewajiban ini, sebagaimana disebutkan didalam riwayat Abu Daud dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata; Rasulullah saw bersabda: "Cukuplah dosa bagi seseorang dengan ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya." Didalam sabdanya saw yang lain yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan : "Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa orang-orang yang menahan makan (upah dan sebagainya) orang yang menjadi tanggungannya."

Sungguh benar Allah dengan segala tuntunan dan firmanNya, ya Allah Engkau pasti telah mencatat segala kebenaran yang berlaku bagiku selama 6 tahun 6 bulan masa pernikahanku, meskipun sampai saat ini semua diputar balikkan. Astagfirullahal adziim....