Wednesday, October 12, 2016

RESEPSI PERNIKAHAN ISLAMI


Gagasan untuk menulis artikel ini bermula ketika aku menghadiri suatu resepsi pernikahan minggu lalu. Sejak awal memasuki gedung resepsi hatiku sudah mulai miris, melihat lay out penyusunan ruangan. Kulihat kursi untuk tamu sedikit sekali, rupanya resepsi tersebut memakai konsep “semi standing party”, jadi siapa tamu yang datang di awal waktu akan dapat jatah kursi seadanya dan sisanya silahkan berdiri.

Bisa dibayangkan betapa “tersiksa”nya para tamu yang harus berdiri di tengah hari terik seperti itu. Prosesi resepsi itu sendiri lumayan lama karena begitu banyak agenda acara yang harus digelar, mulai dari tari-tarian, nyanyi-nyanyian, acara kecil reunian teman orang tua mempelai, pidato dan sebagainya. Aku memang datang di awal waktu jadi alhamdulillah masih dapat jatah kursi dibagian samping luar gedung, sementara kulihat banyak sekali termasuk tamu yang berusia setengah baya yang harus berdiri. Astaghfirullah.... gumamku!

Tibalah giliran makan, antrian panjang yang semrawut dengan para tamu yang berebut ingin duluan harus menguras kesabaran sedikit extra (perilaku tamu yang seperti kalap begitu mungkin karena sudah kelelahan harus berdiri cukup lama selama prosesi acara jadi lapar berat haha.....). Akhirnya sampai juga giliran aku dan kakak perempuanku serta suaminya mengambil jatah makanan. Tetapi setelahnya kami kebingungan bagaimana cara makannya karena kami tidak dapat tempat duduk.Sebagian tamu kulihat makan sambil berdiri. Aku tidak biasa dan tidak bisa makan sambil berdiri dan selain itu dalam tuntunan agam Islam yang aku dapatkan bahwa memang makan sambil berdiri itu tidak disunatkan. Kakak iparku menuju luar gedung duduk dipinggiran taman dengan cuaca terik sekali. Sementara aku dan kakak perempuanku nanar menatap sekeliling mencari kalau ada kursi kosong. Akhirnya ada sepasang tamu suami isteri yang buru-nuru menyelesaikan makannya dan mempersilahkan kami duduk, mungkin kasihan melihat kami. (Hmmmm....).

Episode dramatisasi resepsi pernikahan ini ternyata belum cukup sampai disitu, disaat pulang dan ingin bersalamanpun penuh dengan tragedinya sendiri. Antrian yang begitu panjang untuk bersalaman. Sungguh perlu kesabaran yang lebih lagi. Antrian salaman yang lama dan panjang itupun masih harus lebih bersabar lagi karena antrian itu harus di stop diselingi berbagai prosesi lagi, misalnya foto-foto berbagai tamu baik itu rekan mempelai, rekan orang tua yang ketika bersalaman diajak foto oleh mempelai dan keluarganya (sedangkan prosesi foto wajib bersama tamu kehormatan sudah dilakukan tadi sebelum acara inti dinyatakan usai dan para tamu dipersilahkan santap siang atau bersalaman). Pas hampir tiba giliran kami untuk naik ke panggung untuk bersalaman tiba-tiba panitia WO memutus antrian karena ada prosesi lempar buket bunga yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Dimana harus mengumpulkan dulu para lajang untuk kumpul di depan panggung, lalu mensetting posisi mempelai, lalu mempelai beberapakali bercanda dengan mengelabui para lajang yang menanti pelemparan, lalu lajang yang mendapatkan bunga harus tampil kemuka menerima doorprize berupa handphone, lalu pemenang tersebut foto bersama mempelai. Astaghfirullah...!

Aku yang saat itu sudah sebagian kakiku ditangga panggung kebetulan berdiri di dekat salah seorang panitia WO, sekedar iseng bertanya “Kenapa acara lempar bunga itu tidak dilakukan tadi saja saat para tamu belum dipersilahkan bubar makan dan bersalaman, atau sekalian nanti saja selesai acara. Kasihan sekali tamu-tamu yang sudah tua-tua (kami merasakan kok ibu-ibu yang sudah sangat tua dibelakang kami sampai harus bersandar ke tubuh kakakku karena kelelahan antri). Tanpa aku duga pertanyaan yang aku sampaikan dengan ramah tamah tersebut dijawab dengan sangat kasar oleh panitia. “Kami cuma panitia bu, kami juga punya orang tua bahkan ibu bapak saya sudah mati. Saya yatim piatu. Tapi tak harus seperti itu juga bu tamu teraniaya...bla...bla...bla”.

Astaghfirullah....aku kaget panitia laki-laki itu ngoceh dan berteriak-teriak. Kudiamkan saja. Sungguh dia mungkin belum paham arti kata menganiaya itu. Bahwa ketika seorang manusia merasakan tersiksa/jengkel karena perbuatan seseorang lain meski dia tidak mengeluh ataupun mengeluh alias ngedumel dalam hati maka telah menambahkan dosa untuk dirinya sendiri yang telah mengakibatkan perasaan itu muncul. Hmmmm....

Mungkin pihak keluarga yang mengundang itu sangat bangga dengan resepsi pernikahan yang mereka selenggarakan karena terlihat modern, tamu yang membludak dan para lajang rekan-rekan mempelai hadir dengan busana modis setengah telanjang, tetapi tanpa mereka sadari resepsi mereka telah menghadirkan demikian banyak mudaharat termasuk perasaan dan keluhan para tamunya. Pagi ini aku segera browsing tentang bagaimana tataca cara resepsi pernikahan yang Islami. Berikut rangkuman yang aku dapatkan dari berbagai sumber tersebut :

Rasulullah SAW memaknakan dalam haditsnya, menikah adalah menyempurnakan setengah dari agamanya. Ungkapan ini menegaskan betapa pernikahan menduduki posisi yang mulia dalam Islam. Ia bukan sekadar lembaga untuk menghalalkan “aktivitas ranjang”. Namun lebih dari itu. Menikah merupakan babak baru dari seorang individu muslim menjadi sebentuk keluarga di mana ia akan menegakkan syariat agama ini bukan hanya untuk dirinya sendiri namun juga terhadap pasangan hidupnya, anak-anaknya, dan sebagainya.

Nilai kemuliaan atau kesakralan pernikahan dalam Islam juga tecermin dari “prosesi” pendahuluan yang juga beradab. Islam hanya mengenal proses ta’aruf. Bukan praktik iseng atau coba-coba layaknya pacaran, namun dilandasi niatan yang tulus untuk berumah tangga sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT yang diringi dengan kesiapan untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan dari pasangan hidupnya. Bukan niatan-niatan duniawi seperti mengejar materi, menutup aib, mengubur rasa malu, atau sekadar pelarian dari “patah hati”.

Islam juga mengatur proses walimah atau resepsi pernikahan yang menonjolkan nuansa kesederhanaan dengan diliputi tuntunan syariat. Bukan mengukuhi adat, tidak pula kental dengan tradisi Barat. Walimah dalam Islam, bukanlah hajatan yang sarat gengsi sehingga menuntut sahibul hajat untuk menyelenggarakan di luar kemampuannya.

Walimah nikah juga tidaklah dimaknai sebagai acara jual beli yang memperhitungkan untung rugi atau minimalnya “balik modal”, sebagaimana hal ini tecermin dalam budaya amplop. Sehingga yang diundang tidak dibedakan antara yang “beramplop tebal”, “tipis”, atau bahkan yang “tidak beramplop sama sekali”. Alhasil, tidak berlaku kaidah “yang penting bukan orangnya yang datang (untuk mendoakan), namun amplopnya.” Bahkan sebagaimana disitir dalam hadits, Rasulullah menyebut makanan dari walimatul ‘urs yang hanya mengundang orang-orang kaya sebagai sejelek-jelek makanan.

Lebih-lebih jika itu semua dibumbui acara-acara yang tidak memiliki makna secara Islam seperti (dalam adat Jawa) siraman, ngerik, midodareni, jual dawet, panggih, balang suruh, nginjak telur, dan sebagainya. Atau yang sok kebarat-baratan (baca: latah) dengan standing party (pesta berdiri), tukar cincin, lempar bunga, berciuman di depan tamu undangan, dansa, atau yang sekadar menyuguhkan “hiburan” berupa musik (organ tunggal).

Menghindari terjadinya ikhtilath (percampuran) antara para undangan laki-laki dan perempuan dalam satu majlis, termasuk dalam hal ini menyandingkan pengantin pria dan wanita di pelaminan yang disaksikan oleh seluruh undangan yang hadir sementara diantara mereka ada yang shaleh, fasik atau mungkin kafir.

Biasanya setelah disandingkan maka para undangan baik laki-laki dan perempuan berbaris memberikan ucapan kepada kedua mempelai secara bergantian yang memungkinkan terjadi persentuhan kulit atau pandangan kepada yang bukan mahramnya dan tak disangsikan lagi hal ini bisa mengundang fitnah.

Jika pada acara itu para undangan diberikan kesempatan untuk memberian ucapan selamat hendaklah para undangan pria hanya memberikan ucapan selamat kepada pengantin pria saja begitu juga dengan para undangan wanita cukup memberikan ucapan selamat kepada pengantian wanita saja sehingga tidak terjadi ikhtilat diantara mereka. Termasuk ikhtilath adalah pengambilan foto atau gambar kedua mempelai dengan para undangan yang hadir baik dengan menggunakan kamera maupun video.
Firman Allah swt :


قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ


Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.” (QS. An Nur : 30 – 31)

Tidak menghadirkan lagu-lagu atau para penyanyi baik laki-laki maupun perempuan yang dapat melalaikan si pendengar dari dzikrullah atau dapat membangkitkan syahwat mereka. Hindari pula penggunaan alat-alat musik didalam walimah pernikahan ini kecuali duff (rebana).

Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa ia menyerahkan pengantin wanita kepada seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Wahai Aisyah, apakah tidak ada hiburan, sebab orang-orang Anshar senang akan hiburan?.”
Imam Bukhari meriwayatkan dari Khalid bin Dzakwan ia berkata; Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afran berkata; suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk saat aku membangun mahligai rumah tangga (menikah). Lalu beliau duduk di atas kasurku, sebagaimana posisi dudukmu dariku. Kemudian para budak-budak wanita pun memukul rebana dan mengenang keistimewaan-keistimewaan prajurit yang gugur pada saat perang Badar.”

Dibolehkan bagi anda menghadirkan nasyid-nasyid islamiyah (senandung-senandung islami) yang tidak menggunakan peralatan musik.

Markaz al Fatwa menyebutkan bahwa tidak mengapa mendengarkan nasyid-nasyid didalam beberapa kesempatan, diantaranya pada walimah pernikahan jika tidak mengandung musik dan suara-suara yang menyerupai musik (Markaz al Fatwa No. 19596).

“ Dan tiadalah kehidupan di dunia ini melainkan senda gurau dan main-main, Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan”.

Setiap langkah dan perbuatan kita harus selalu berpatokan Allah ridho atau tidak, sesuai syariat atau tidak. Bukan hanya mengejar prestise duniawi semata. Sudah berulangkali aku menghadiri resepsi pernikahan di gedung yang sama dengan konsep “semi standing party” termasuk didalamnya ada prosesi lempar buket bunga. Sepertinya cara-cara ini menjadi booming dan dianggap modern. Sadarilah wahai para penyelenggara yaitu WO dan tuan rumah, tetap ada hisab dari apa yang telah kalian lakukan diluar syariat dan tuntunan Islam.

Jangan sampai hanya karena ingin dianggap modern demi prestise keduniawian kita malah menyalahartikan makna walimah itu sendiri. Walimah artinya menjamu para tamu undangan. Kalau membuat tamu undangan merasa tidak nyaman karena seremonial yang tidak sesuai tuntunan syariat maka jelas sudah menyimpang dari hakikat dan tujuan yang sebenarnya, bukan tidak mungkin akan menjadikan dosa bagi si pemilik hajat. Audzubillah min dzalik..!

Palembang, 10 Oktober 2016