Monday, October 2, 2017

MENGHADAPI SENTILAN/EJEKAN KARENA BERHIJAB SYAR’I


Pagi ini aku iseng membuka sebuah akun sosmedku, kulihat ada sebuah notifikasi yang merupakan respon dari tag fotoku di upacara hari Kesaktian Pancasila yang berbarengan dengan hari Batik Nasional kemaren. Di foto itu aku memakai seragam batik, tetapi memang jilbabku sangat panjang sehingga batiknya hampir tidak terlihat. Komennya biasa saja namun jika mau didalami makna yang tersirat kalimat tersebut sebuah kritikan tentang khimarku yang terlalu panjang (alias berlebihan) sehingga blazer batikku tak nampak karenanya. Bisa jadi maknanya kalau berpakaian/berjilbab harus disesuaikan agar apa yang ingin ditampilkan nampak dipermukaan. Astaghfirullah...! Maafkan aku ya Allah ketika hati ini terasa berdetak membaca komen wanita itu.

Sambil terus beristighfar aku membalas komen tersebut “Jika manusia tak dapat melihat, biarlah Allah saja yang tahu saat itu saya memakai baju batik, karena saya sangat mencintai khimar panjangku”. Astaghfirullah...astaghfirullah...astaghfirullah. Aku terus beristighfar memohon ampun karena aku sempat terpancing emosi dengan kalimat-kalimatnya. Aku mohon ampun ya Allah. Aku mengetahui bahwa Islam tidak memberi celah sedikitpun bagi pengikutnya membalas ejekan orang lain. Walaupun demi untuk menyampaikan kebenaran, walaupun dengan alasan untuk “membela” Islam, Allah tidak pernah memberi izin untuk membalas ejekan. Al-Qur’an mengajarkan hanya ada satu cara untuk menghadapi pandangan sinis atau ejekan yaitu diam dan berpaling. Bahkan Allah melarang kita melayani orang-orang “bodoh” yang hanya bermodal cacian/ejekan.

وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ لَا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ -٥٥-
Dan apabila mereka mendengar perkataan yang buruk, mereka berpaling darinya dan berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, salam bagimu, kami tidak ingin (bergaul) dengan orang-orang bodoh.” (Al-Qashas 55)

Dan Allah berfirman lagi : 

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ -١٩٩-
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raf 199)

Memang ini bukan pertama kali aku menerima sikap agak kurang menyenangkan tentang caraku berhijab. Masih jelas dalam ingatanku saat itu aku travelling ke Turki bersama group yang terdiri dari wanita-wanita luar biasa (kaya, berkedudukan dan trendy dalam berbusana). Teringat ketika salah seorang dari mereka sempat ngomong agak keras padaku, “Echie jilbabmu itu terlalu panjang  ngeliatnya tuh riweh dan gak keren. Coba dipendekin atau dilipat begini (dia mengangkat dan melipat jilbab bagian depanku dan melampirkannya ke bahu”. Aku hanya tersenyum saja dan menurunkan kembali jilbab panjangku pada posisinya semula. 

Ini foto yang menuai komen, jilbabku terlalu panjang menutupi batiknya
Ini jilbab panjangku yang dibilang riweh dan gak keren
Lalu pernah ada kawan sekantor yang terang-terangan “nyablak” di depanku. Ihhhh...amit-amitlah aku blom mendekati mati untuk memakai jilbab panjang kayak seprai gitu. Masihlah pengen bergaya dulu. Suamiku jijik dan gak suka gaya jilbab seperti ustadzah, mirip emak-emak kampungan! Aku hanya diam dan tersenyum terhadap semua perlakuan itu. 

Ini jilbabku yang dibilang seprai
Tidak pahamkah ukhti bahwa HARAM hukumnya menghina/melecehkan/ mencibir/mengejek wanita yang berjilbab syar'i, jilbab lebar maupun bercadar, misalnya dengan sebutan ninja, setan, kemah berjalan, karung, gorden, taplak meja, seprei , kampungan, emak-emak hantu, teroris, ekstrimis,dll. Haram hukumnya menyakiti hati sesama muslim meskipun hanya bercanda, apalagi sungguh-sungguh/sengaja.

Wahai ukhti sesama muslimah, jika mau diuraikan sangat panjang proses hijrahku sampai mampu berjilbab syar’i seperti ini. Semua memerlukan usaha dan pelajaran yang banyak . Aku pernah memakai jilbab cekek, aku pernah memakai jilbab trendy ala Hijabers, mukaku selalu sempurna dengan polesan make up (alis, eyeshadow, blush on, lipstick) tetapi ketika aku sudah sangat paham landasan dalilnya inshaa Allah aku akan terus istiqomah seperti sekarang ini biarpun seperti emak-emak. Aku ikhlas meninggalkan semua yang menjadi keindahan dunia. Meski orang mengomentari mukaku pucat karena tanpa polesan make-up lagi aku tidak begitu risau. Bahkan aku dalam proses untuk mengenakan cadar/niqob. Ya Rabb...istiqomahkan hamba.

Sejarah panjang aku berhijab adalah dalam sebuah kajian aku mendengar ayat ini :

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al-Ahzâb/33:59].

Lantas dalam rangka terus memperbaiki diri untuk mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang sebenarnya yaitu kampung akhirat aku tak pernah lelah belajar untuk menyempurnakan hijabku. Aku mendapatkan kembali tuntunan bahwa  Allah berfirman, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak.” (An-Nur: 31)

Berdasar surat tersebut akupun kembali belajar tentang bagaimana jilbab yang sesungguhnya dipersyaratkan oleh aturan syariat Islam. Syaikh Al Albani rahimahullah pernah mengatakan, “Tujuan pakaian muslimah adalah agar tidak menggoda. Tujuan ini bisa tercapai hanya dengan wanita berbusana longgar. Adapun berbusana ketat walau itu menutupi warna kulit, namun masih menampakkan bentuk lekuk tubuh seluruhnya atau sebagiannya. Sehingga hal ini pun menggoda pandangan para pria. Dan sangat jelas hal ini akan menimbulkan kerusakan, tanpa diragukan lagi. Yang tepat adalah pakaian muslimah haruslah longgar (tidak ketat).” (Jilbab Al Mar-ah Al Muslimah fil Kitab was Sunnah, hal. 131).

Dari seluruh kajian yang pernah aku dapatkan maka kesimpulannya adalah sifat hijab yang syar’i harus memenuhi aturan di bawah ini : :
1. Hijab itu hendaknya menutupi seluruh badan dari atas kepala sampai di bawah mata kaki (wanita wajib memakai kaos kaki). 
2. Jilbab itu harus luas dan longgar sehingga tidak menampakan bentuk/lekuk tubuh dan anggota –anggota badan.
3. Kain jilbab harus tebal sehingga tidak menampakkan warna kulit atau yang lainnya.
4. Tidak bersifat menghias tubuh sehingga menarik pandangan para pria, karena tujuan hijab itu adalah menuupi keindahan tubuh.
5. Tidak menyerupai pakaian pria (celana)
6. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
7. Tidak mencolok dan menarik pandangan orang.
8. Tidak memakai pewangi atau minyak wangi yang tercium baunya.

“Apapun pendapat manusia tentang hijabku bukanlah suatu masalah karena aku sudah ikhlas melabuhkannya hanya karena Allah”(my Quote)

Setiap Muslim yang beriman kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan kebenaran agama-Nya wajib meyakini bahwa semua aturan yang ditetapkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala merupakan kemaslahatan, termasuk didalamnya yang berkaitan dengan kemaslahatan, kebaikan dan penjagaan bagi kesucian diri dan kehormatan para Muslimah yaitu pakaian dan perhiasan wanita Muslimah

Seorang wanita Muslimah yang telah mendapatkan anugerah hidayah dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk berpegang teguh dengan agama ini, hendaklah ia merasa bangga dalam menjalankan hukum-hukum syariat-Nya. Karena dengan itu, ia akan meraih kemuliaan dan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Dan semua itu jauh lebih agung dan utama dari pada semua kesenangan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), karunia Allâh dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)”. [Yûnus/10:58]


My Quotes