Monday, November 20, 2017

JAGALAH LISANMU

Aku pernah merasakan sangat terluka hanya dengan celetukan seorang teman yang memang di setiap kalimatnya lebih sering kasar dan pedas, meskipun kalimat-kalimatnya diucapkan dengan suaranya yang merdu dan lembut. Ceritanya kala itu ada jalan sehat bersama warga komplek dalam rangka HUT RI yang ke-72. Aku, dia, Lina jalan bersama sambil ngobrol seadanya. Lina bercerita tentang anak-anaknya yang berjumlah 3 orang yang akan lulus secara bersamaan tahun ini. Bercerita tentang dia yang mulai mempersiapkan diri untuk menabung uang dalam rangka biaya masuk sekolah baru yang memerlukan biaya cukup besar . Aku mendengarkan dengan seksama.

Lina melanjutkan ceritanya tentang bagaimana cara mengelola keuangan yang baik. Aku membesarkan hati dengan berucap "Semangat Lina semua itu / membesarkan anak merupakan ladang ibadah yang sangat besar pahalanya, dibanding aku yang kesepian tanpa anak". Lalu Lina juga berusaha menghibur aku, jika aku kesepian bolehlah mengajak anaknya untuk main. 

Aku antusias menjawab “bener ya kalau aku mau ke mall aku boleh ajak anakmu ya Lin?” ujarku.“Ohhh...boleh banget mbak, apalagi si Bibil (anak bungsunya) pasti mau banget diajak jalan-jalan ke mall”. Kami tergelak-gelak dengan kalimat lucu-lucu kami. Tapi tiba-tiba si “teman” satunya yang bersama kami nyeletuk

“ Iya pertama anaknya dulu yang diajak main, diajak jalan, nanti ujung-ujungnya bapaknya pula yang diajak main dan jalan-jalan” 

Jlebbb...aku tersentak kaget. Terdiam sejenak sambil dalam istighfar tak percaya rasanya mendengar kalimat itu. Lantas dengan hati terluka aku membalas datar“Ah tak mungkinlah. Aku ini masih punya hati dan perasaan, tak mungkin jadi pelakor.”
“Nehh... siapa tahu”, dia kembali menimpali sambil tergelak

Ya Allah... untunglah aku punya kesabaran yang lebih, sehingga menelan kalimat-kalimat sadisnya dengan sakit. Namun ketika aku curhat pada adik kandungku, dia langsung emosi, “Ah bodoh kau tuh, kalau aku langsung kucekik lehernya, bilang aja eh...jangan sembarang ngomong, apa maksudmu???”. Tapi aku adalah aku yang memang selalu memendam emosi ke dalam, meski aku terluka. Tapi aku selalu berhati-hati terhadap si”teman” itu, tak ingin terlalu dekat atu berada dekat dengannya.

Dilain waktu yang tidak berselang lama dari kejadian di atas hal ini terjadi lagi.Saat itu sebagai pengurus persatuan ibu-ibu erte komplek, kami bertiga Yossi dan Ana mengadakan rapat kecil yang tadinya mau diadakan di rumahku. Kebetulan hari Sabtu itu aku baru pulang dari travelling ke Batam, yang nota bene rumahku masih sangat berantakan. Aku khawatir tidak bisa menjamu mereka dengan baik di rumahku. Lantas aku ajak mereka rapat alias diskusinya di suatu rumah makan, cafe atau apalah. Setuju... nah rapat dan makan selesai jam 11, artinya masih lumayan pagi. Tadinya untuk refreshing salah seorang dari kami mengusulkan “ngemall” saja. Aku berpikir jika ngemall akan menguras kocek, pastilah meski hanya sight seeing akan keluar uang juga ujung-ujungnya.

Aku usul kita refreshing ke karoke aja yuk, ambil yang 1 jam saja. Sambil nyanyi kita masih bisa bahas-bahas lagi tentang acara outdoor arisan kita bulan depan. Semua setuju, maka jadilah kita karokean. Tak ada yang salah rasanya kami ke tempat ini. Hanya relaxing dengan lagu-lagu tempo dulu. Sementara salah satu dari kami sedang nyanyi kami berdua bisa lagi men”setting” tentang rencana arisan erte yang akan di lakukan outdoor. Tak ada yang salah... Nah sumber masalahnya tuh adalah selama karoke itu kami foto-foto dan sama bu Ketua foto kami bertiga disend ke group WA. Rame komentar, tapi semua berkomentar baik kok. Malah ada yang bilang kok gak ngajak dsb. Termasuk “teman” itu ikut komentar dengan memberikan emoticon jempol. Bagiku semua itu wajar dan biasa saja.

Keesokan harinya, di undangan pesta pernikahan anaknya Titi Ferdi aku kembali tersentak, ketika bersalaman dan cipika-cipiki saat bertemu “teman” ada kalimat pedas yang dia kembali lontarkan. “ Uhhhh...mbak Esi pake jilbab syar’i, tapi pergi ke karoke. Tak malu sama jilbabnya”. Hanya kalimat pendek yang dibisikan di telingaku saat bersalaman dengan nada suara berbisik tapi dahsyatnya membuat aku tersentak. Apa ada yang salah aku di tempat karoke, toh kami disana hanya bertiga dan wanita semua. Kami tidak bermaksiat??? Karena tak sanggup menahan rasa kaget aku curhat pada Yossi dan Ana yang duduk bersebelahan denganku. Aku ceritakan kalimat-kalimat yang dibisikan “teman” itu. Langsung Yossi nyeletuk “Loh...memangnya kita melacur, melonte di tempat karoke itu???? Apa urusannya???”.

Bukan 2 kali kejadian itu saja. Dulu sekali si “teman” ingin menjadikan aku teman dekatnya, dimana dia selalu membagi saat punya makanan atau apalah, tetapi karena sikap dan perilaku dan kalimat-kalimat nya agak kurang berkenan di hatiku aku secara halus menarik diri untuk menjaga jarak. Memang “teman” itu orang berpunya, rumah mewah, harta berlimpah namun aku tak mau menjalin pertemanan yang menyakitkan dan membeli pertemanan dengan uang sehingga dengan kemurahan yang dia berikan lantas dia menginginkan aku menjadi “Scooby doo”, sianjing penurut. Mohon maaf aku bilang “No”.

Itulah prolog yang membuat aku belajar, mencari sumber ilmu dan berbagi tentang menjaga lisan ini. Jika aku sangat terluka diperlakukan seperti itu aku bermohon pada Allah untuk tidak membuat orang lain terluka. Makanya aku memang jarang bicara, dimanapun. Persatuan ibu-ibu kompleks, di rapat-rapat kantor, dipertemuan apapun, bahkan dengan saudara kandungku sendiri. Kadang meski tahu aku lebih memilih diam untuk tidak menunjukkan aku pandai, pintar dan tahu. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka katakanlah perkataan yang baik atau jika tidak maka diamlah.”(Muttafaqun ‘alaihi)

Selain dari sabda Rasulullah SAW itu banyak kalimat dan perkataan para ulama yang mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga lisan

Jangan mudah melontarkan kata-kata yang bisa membuat hati seseorang sakit. Karena terkadang yang menurutmu biasa saja atau itu hanya sebuah lelucon dan candaan, bisa jadi ia malah melukai hati seseorang. Kamu tidak pernah tahu perasaan seseorang itu bagaimana, oleh sebab itu jaga lisanmu

Berhati-hatilah dalam berbicara, jangan sampai melukai hati siapapun. Alangkah baiknya pikir dahulu sebelum mengatakan sesuatu takut menyinggung dan menyakiti hati orang lain Sekali kamu menyakiti dengan ucapannmu. Mungkin ia bisa memafkanmu tetapi dia selamanya tidak akan pernah lupa apa yang dikatakan olehmu. Ia akan tetap mengingat bagaimana kamu mengucapkan kalimat itu sehingga bisa melukai hatinya. 

Sekali kamu salah dalam berkata maka ucapannmu itu tidak bisa ditarik kembali. Maka berhati-hatilah jangan sampai melukai hati orang lain. Karena memafkan itu tidak mudah apalagi melupakannya. Maka hati-hatilah saat kamu berbicara, alangkah baiknya kamu berpikir dulu sebelum kamu mengatakannya Jangan kamu kira ucapanmu itu hanya akan menyakiti orang lain saja. Bahkan jika kamu salah dalam berbicara maka ucapanmu itu bakal berbalik arah dan bakalan melukai diri kamu sendiri. 

Ucapan yang menurut kamu biasa dan sederhana itu yang justru akan membunuhmu jika ucapanmu salah. Ingat lidah itu bisa membunuh diri kamu sendiri kalau kamu sampai mengatakan hal yang salah. Makanya lebih baik hati-hati dalam berkata takut hanya melukai diri sendiri dan orang lain.

Maka, berbicaralah yang mengandung manfaat, bijakkanlah lisanmu untuk berkata yang baik-baik, agar kamupun selalu tersanding dengan kebaikan. Dan yang paling penting adalah, saat kau pandai menghargai dirimu dengan pandai menjaga lisan dan tutur katamu, maka akhirnya orang lainpun akan gampang menghargaimu.

Dan ingat, lisanmu Allah ciptakan untuk menyebut kebaikan, bukan untuk melukai hati orang lain. Maka, dimanapun kamu berada dan sampai kapanpun, kau harus selalu menjaga lisanmu dengan bijak, sampaikanlah kebaikan dan bila memang tidak mampu, maka jagalah agar tak pernah menyebut keburukan orang lain. Hati-Hatilah Menjaga Lisanmu, Jangan Menyakiti Dan Jangan Pula Berbicara Yang Membuatmu Berdosa Pada Allah

Bahaya Tidak Menjaga Lisan 
Salah satu bahaya tidak menjaga lisan adalah menyebabkan pelakunya dimasukkan ke dalam api neraka meskipun itu hanyalah perkataan yang dianggap sepele oleh pelakunya. Sebagaimana hal ini banyak dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salah satunya adalah hadits yang telah disebutkan di atas. 

Atau dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang rukun iman dan beberapa pintu-pintu kebaikan, kemudian berkata kepadanya: “Maukah kujelaskan kepadamu tentang hal yang menjaga itu semua?” kemudian beliau memegang lisannya dan berkata: “Jagalah ini” maka aku (Mu’adz) tanyakan: “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Semoga ibumu kehilanganmu! (sebuah ungkapan agar perkataan selanjutnya diperhatikan). Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka.” (HR. At-Tirmidzi) 

Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata mengenai makna hadits di atas, “Secara dzahir hadits Mu’adz tersebut menunjukkan bahwa perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk neraka adalah karena sebab perkataan yang keluar dari lisan mereka. Termasuk maksiat dalam hal perkataan adalah perkataan yang mengandung kesyirikan, dan syirik itu sendiri merupakan dosa yang paling besar di sisi Allah Ta’ala. Termasuk maksiat lisan pula, seseorang berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu, ini merupakan perkara yang mendekati dosa syirik. Termasuk di dalamnya pula persaksian palsu, sihir, menuduh berzina (terhadap wanita baik-baik) dan hal-hal lain yang merupakan bagian dari dosa besar maupun dosa kecil seperti perkataan dusta, ghibah dan namimah. Dan segala bentuk perbuatan maksiat pada umumnya tidaklah lepas dari perkataan-perkataan yang mengantarkan pada terwujudnya (perbuatan maksiat tersebut). (Jami’ul Ulum wal Hikaam)

Buah menjaga lisan
Buah menjaga lisan adalah surga. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من يضمن لي ما بين لحييه وما بين رجليه أضمن له الجنة
“Barangsiapa yang mampu menjamin untukku apa yang ada di antara kedua rahangnya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan) aku akan menjamin baginya surga.” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk menjaga lisan dan kemaluannya dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah, dalam rangka untuk mencari keridhaan-Nya dan mengharap balasan berupa pahala dari-Nya. Semua ini adalah perkara yang mudah bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala. (Kitaabul Adab)

Saudariku kita telah mengetahui bahaya yang timbul akibat tidak menjaga lisan, dan kita pun telah mengetahui bagaimana manisnya buah menjaga lisan, sudah sepantasnya kita selalu berpikir sebelum kita mengucapkan suatu perkataan. Apakah kiranya perkataan tersebut akan mendatangkan keridhaan Allah Ta’ala atau bahkan sebaliknya ia akan mendatangkan kemurkaan Allah Ta’ala. Cukuplah kita selalu mengingat firman Allah Ta’ala (artinya):

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18). 

Juga firman Allah Ta’ala (artinya):

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)

Saudariku, berhati-hatilah terhadap lisan karena sebuah ucapan bisa menjerumuskan kita ke dalam api neraka. Apabila kita tidak mengetahui sebuah perkara dengan pasti, sebaiknya kita diam saja. Dan janganlah kita mengucapkan perkataan yang menyakiti hati orang lain, sekalipun itu hanya candaan. Sebab di akhirat kelak, segala apa yang kita ucapkan dengan lisan pasti akan dimintai pertanggung jawaban.

Semoga Allah SWT senantiasa meluruskan lisan-lisan kita, memperbaiki amalan-amalan kita dan memberikan kita taufik dan hidayah untuk selalu mengamalkan perkara yang dicintai dan di ridhoi Allah.




Sumber : muslimah.or.id, rumaysho.com dan berbagai sumber lainnya. 

Tuesday, November 14, 2017

APAKAH MEMBACA AL QUR'AN LEWAT SMART PHONE DAPAT PAHALA?

Menjadi kebiasaan setiap hari sebelum memulai pekerjaan kantor aku selalu membaca Al Qur’an beberapa ayat melalui tablet (smart phone), seketika seorang teman kantor berkomentar kenapa membaca Al Qur’an via smart phone, kan tak ada pahalanya. Bukan sekali ini saja aku mendapat komentar seperti itu. 

Aku mencoba menjelaskan hukumnya tentang itu, termasuk alasan mengapa aku membaca Al Qur’an via smart phone. Pertama, aku sengaja karena tidak ingin orang lain tahu aku sedang membaca Al Qur’an, dari kejauhan hanya terkesan aku sedang membuka HP yang bisa dikonotasikan aku sedang baca message atau media sosial. Kedua, jika membawa Al Qur’an banyak persyaratan yang harus dipenuhi, seperti harus sangat berhati-hati menempatkan Al Qur’an agar tidak di tempat yang salah, berhati-hati untuk menyentuhnya dan sebagainya. Demikian juga ketika pergi ke majelis-majelis lain yang mengharuskan aku dengan sangat cepat menemukan ayat berapa, surat apa? Menggunakan smart phone akan dapat dengan cepat menemukan ayat dan surat saat ustadz memerintahkan, coba bunda buka surat... ayat... 

Itu saja sih alasan mengapa aku suka membaca Al Qur’an melalui smart phone. Jika di rumah  memang aku selalu membaca Al Qur’an melalui mushaf. Karena beberapa kali aku mendengar komentar seperti di atas, aku tergelitik mencari sumber dan informasi yang benar, khawatir komentar teman-teman di atas benar adanya.  Bagaimana hukumnya membaca Al Quran dari handphone? Apakah pahalanya sama dengan membaca Al Quran dari mushaf?  Mungkin perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian kata mushaf menurut istilah zaman sekarang ini. Mushaf adalah materi yang digunakan untuk mengumpulkan Al Quran yang sesuai dengan urutan ayat dan suratnya, dengan bentuk tulisan seperti pada mushaf yang disepakati umat islam di zaman khalifah Utsman bin Affan radhiallahu’anhu. 

Definisi di atas mencakup semua jenis mushaf. Baik mushaf kuno, seperti mushaf yang terbuat dari kertas, yang merupakan kumpulan lembaran, tertulis huruf-huruf al-Quran, yang ditutup dua sampul. Atau mushaf model baru seperti mushaf yang termuat dalam chip atau yang tersimpan di CD, termasuk (huruf) timbul yang digunakan dengan jarum Braille untuk menulis di kertas-kertas khusus penyandang tunanetra. 

Kemudian, apabila mushaf elektronik memiliki bentuk yang berbeda dengan mushaf lembaran kertas, baik susunannya dan penampilan hurufnya – dan seperti ini keadaan aslinya – maka yang semacam ini tidak dihukumi sebagaimana mushaf kertas, kecuali setelah aplikasi Al-Quran di alat ini dihidupkan, sehingga tampak ayat Al-Qurannya, yang tersimpan di dalam memori mushaf elektronik itu. 

Jika teks mushaf dalam alat telah nampak, dengan tulisan yang bisa dibaca, maka membaca mushaf ini seperti membaca mushaf di kertas. Akan mendapatkan pahala, sebagaimana yang dijanjikan dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ ﴿الم﴾ حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Barangaiapa yangmembaca satu huruf dari kitabullah (Al Qur’an) maka baginya satu kebaikan. Satu kebaikan dilipatgandakan 10 kali lipat. Tidak kukatakan aliflammim itu satu huruf. Akantetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satuhuruf.” (Dikeluarkan At Tirmidzi Dalam Fadhailul Qur’an No 2910. Dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No 6469)

dan hadis dari Abdullahbin mas’ud secaramarfu’,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ فَلْيَقْرَأْ فِي الْمُصْحَف

“Barangsiapa yang ingin bahagia karena dirinya yakin telah mencitai Allah dan RasulNya maka hendaknya ia membaca dengan mushaf Al-Qur’an.” (Dikeluarkan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No 2027. Dinilai shahih oleh Al Albani dalam Assilsilah Ash Shahihah No. 2342) Serta hadis-hadis shahih lainnya yang menunjukkan keutamaan membaca Al-Qur’an dan memperbanyak bacaan Al-Quran.

Adapun larangan membawa mushaf elektronik ke dalam kamar mandi tanpa kebutuhan atau kondisi darurat, dipahami apabila aplikasi dalam alat itu atau dalam HP dalam keadaan hidup, dan menampilkan ayat-ayat al-Quran. Termasuk juga dalam larangan, menyentuhkan benda najis atau meletakkan najis di atasnya, atau mengotorinya dengan najis. Hal ini, karena status kemuliaan Al-Quran berlaku untuk alat tersebut, selama aplikasi dihidupkan dan tampak ayat-ayat dan surat-sutatnya.

Hanya saja, status larangan di atas menjadi hilang dari mushaf Al-Quran ini, ketika aplikasi Al-Quran dimatikan, dan tidak lagi nampak ayat-ayatnya dengan matinya tampilan di layar. Dan kondisi tidak diaktifkan, tidak terhitung mushaf, sehingga tidak dihukumi sebagaimana mushaf kertas.

Di sisi lain, boleh bagi orang yang sedang hadas kecil atau besar, menyentuh bagian HP atau peralatan lainnya, yang berisi aplikasi Al-Quran. Baik ketika sedang dimatikan, atau diaktifkan. Karena teks Al-Quran yang ada di mushaf elektronik yang tampil di layar HP hanya vibrasi huruf yang diproses secara harmonik. Di mana, dia tidak bisa tampil di layar, kecuali melalui aplikasi elektronik.

Oleh karena itu, menyentuh kaca layar, tidak dianggap menyentuh mushaf yang asli. Karena tidak bisa dibayangkan, bagaimana cara menyentuhnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Berbeda dengan mushaf kertas, menyentuh kertasnya atau hurufnya, termasuk menyentuh secara langsung. Untuk itu, tidak diperintah bagi orang yang mengalami hadas untuk bersuci ketika hendak menyentuh mushaf elektronik, selain sebatas kehati-hatian.

Sumber:http://ferkous.com/site/rep/Bq151.php




MENISBATKAN NAMA DIRI DENGAN NAMA SUAMI

Keinginan membuat artikel ini bermula ketika di dalam chat group WA  persatuan arisan RT lingkungan tempat aku tinggal , pengurus meminta seluruh anggota menuliskan nama satu persatu dengan tujuannya untuk membuat list nama anggota. Mulailah satu persatu anggota memberikan namanya. Bagus sih karena 3 dari peserta yang telah menulis nama memberikan nama asli mereka. Baru saja aku ikut memberikan namaku, terbaca reply chat siibu Ketua. Agar tulis nama lengkap yaitu cantumkan nama suami di belakang nama anda.

Entah apa yang membuat aku cukup berani menimpali permintaan tersebut. 
“ Dalam Islam haram hukumnya menisbatkan nama dengan nama suami. Tulis saja nama sendiri/nama suami, jika memang informasi nama suami memang dirasakan perlu untuk arisan ibu-ibu. Begitu lebih baik” . Masa bodoh apa tanggapan anggota group dengan kalimat tegasku itu. Aku hanya ingin menyatakan yang benar, karena fenomena penulisan nama suami di belakang nama isteri sudah menjadi hal yang awam, bahkan dianggap benar. 

Fenomena menuliskan nama suami di belakang nama seorang isteri memang sangat populer di berbagai kalangan. Bahkan dalam kelompok arisan/persatuan ibu-ibu komplek tempat aku tinggalpun dalam daftar nama anggota hampir semuanya menuliskan seperti itu. Selama ini mereka sudah salah menurutku. Yang membuat aku berani menyatakan dengan tegas melalui chat WA kemaren hanyalah karena perintah sang ibu ketua akan membuat semua anggota melakukan kesalahan. Bukankah 3 orang yang memberikan daftar nama pertama kali sudah benar? Kenapa disesatkan dengan perintah yang bertentangan dengan ajaran Islam? 

Dalam ajaran Islam seorang istri tidak boleh menambahkan nama suaminya atau nama keluarga suaminya yang terakhir setelah namanya sebagaimana banyak terjadi kepada non-muslim berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (3508) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ ، وَمَنْ ادَّعَى قَوْمًا لَيْسَ لَهُ فِيهِمْ – أي نسب - فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّا
رِ
Artinya: (tidaklah seseorang mendakwakan kepada selain ayahnya sedangkan dia mengetahuinya kecuali dia telah kafir, barangsiapa yang mendakwakan kepada suatu kaum sedangkan dia tidak memiliki nasab dari mereka, maka hendaklah dia memesan tempatnya dalam neraka).


وقال صلى الله عليه وسلم : ( مَنْ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ .. فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ) رواه ابن ماجة (2599) وصححه الألباني في صحيح الجامع (6104
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (Barangsiapa yang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya, maka baginya laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya) HR Ibnu Majah(2599) dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (6104).

Dalam dua hadits diatas ada ancaman keras bagi yang mengganti nama ayahnya atau keluarganya dan menisbatkan dirinya kepada keluarga atau kaum yang bukan asalnya. Disamping itu perbuatan ini juga merupakan tasyabuh (menyerupai) orang-orang kafir, karena tradisi yang tercela ini tidak pernah dikenal kecuali dari mereka, dan dari merekalah sebagian kaum muslimin yang awam mengadopsinya.

Dalam perbuatan itu juga ada unsur pengingkaran seorang wanita kepada keluarganya dimana hal itu bertentangan dengan sifat kebajikan, ihsan dan akhlak yang mulia. Sesungguhnya sangat banyak pengaruh dari tasyabuh dengan orang-orang barat dalam hal pemberian nama, diantaranya yang banyak terjadi sekarang ini yaitu dengan menghapus antara namanya dan bapaknya sebutan bin atau binti, yang dahulu sebabnya adalah karena sebagian keluarga mengangkat sebagian orang menjadi anak angkat, sehingga mereka menambahkan nama mereka dibelakangnya, maka jadilah mereka (fulan fulan), yaitu untuk membedakan anak kandung mereka yang dipanggil (fulan bin fulan), kemudian pada abad 14H mereka mulai menghapus sebutan bin atau binti dari anak kandung mereka dimana hal itu merupakan perkara yang diingkari baik secara bahasa, adat maupun syar’i.

Diantara pengaruh lain dari penisbatan istri kepada nama suaminya karena aslinya: bahwa seorang wanita haruslah dipanggil (fulanah binti fulan), bukan (fulanah istri fulan) meskipun kita tahu bahwa suami memiliki kedudukan sangat tinggi bagi istrinya, bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan seandainya sujud kepada manusia diperbolehkan niscaya seorang istri diperintahkan untuk sujud kepada suaminya.

Dalam hal ini Allah Ta’alaa berfirman:

{ ادعوهم لآبائهم هو أقسط عند الله } [ الأحزاب:5]
Artinya: (panggilah mereka kepada bapak-bapak mereka itu lebih adil disisi Allah) [QS Al-Ahzab:5].

Perintah ini tidak hanya berlaku di dunia tetapi juga di akhirat sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:


قال النبي صلى الله عليه وسلم " إن الغادر يرفع له لواء يوم القيامة ، يقال هذه غدرة فلان بن فلان " . رواه البخاري (5709) ، ومسلم (3265).
“Sesungguhnya pengkhianat akan dikibarkan untuknya bendera pada hari kiamat, lalu dikatakan inilah pengkhianatan fulan bin fulan” HR Imam Bukhari (5709) dan Muslim (3265).

Syeikh Bakr Abu Zaid hafidhohullah berkata: ini termasuk rahasia dalam syariat, karena penisbatan kepada bapak lebih kuat untuk dikenal, dan lebih dalam untuk dibedakan, karena bapak adalah yang memiliki hak kepemimpinan atas anaknya dan ibu anaknya di rumah dan di luar. Oleh karena itu bapak muncul dalam perkumpulan dan pasar-pasar, dan dia rela menempuh bahaya dalam safarnya untuk mendapatkan rizki yang halal dan berusaha demi kebaikan dan kelancaran urusan mereka, maka sangat pantas untuk menisbatkan anak kepadanya bukan kepada ibu-ibu mereka yang diperintahkan oleh Allah Ta’alaa dalam firman-Nya (Dan diamlah kalian dalam rumah kalian) [QS Al-ahzab:33]. Lihat kitab Tasmiyatul Maulud: 30.

Oleh karena itu: karena tidak adanya hubungan nasab antara suami dan istri maka bagaimana bisa ditambahkan kepada nasabnya, kemudian barangkali suatu saat dia dicerai, atau suaminya mati, lalu menikah dengan pria lain, maka apakah penisbatan kepada suaminya akan senantiasa berubah ketika dia hidup dengan pria lain ?

Ditambah lagi bahwa penisbatan kepada ayahnya berkaitan dengan hukum-hukum warisan, nafkah, kemahraman dan lain-kain maka penisbatannya kepada suaminya akan merusak semua itu. Kemudian ketika suami menisbatkan dirinya kepada bapaknya lalu apa kaitan istri dinisbatkan kepada bapak mertuanya ? Tentu ini adalah sesuatu yang menyimpang dari akal sehat dan kenyataan.

Tidak kita temukan dalam sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa istri dinisbatkan kepada suaminya, bahkan ini merupakan perkara baru yang tidak ditetapkan oleh syariat Islam, karena para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu para ibu kaum mukminin menikah dengan manusia yang paling mulia nasabnya namun tidak seorang dari mereka yang dinisbatkan kepada nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan mereka semua masih dinisbatkan kepada ayah mereka meskipun kafir, demikian pula para istri sahabat radhiallahu anhum dan yang datang setelah mereka tidak pernah mengganti nasab mereka. 

Kesimpulannya kita sebagai muslim yang memiliki jati diri, yang taat kepada Allah Ta’alaa dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendaklah menghindari hal-hal seperti ini karena adanya larangan tasyabuh dengan mereka apalagi biasanya hal itu hanya ditujukan untuk mencari sensasi.



Sumber : www.muslimah.or.id dan rumaysho.com



Friday, November 10, 2017

BUKA TUTUP JILBAB

Berita yang sedang viral beberapa hari belakang ini yaitu seorang presenter melepas jilbabnya. Aku cuma bisa istighfar dan merasa kasian. Memang aku atau siapapun tidak boleh terlalu ikut campur, memvonis atau apapun. Hidupnya adalah tanggung jawabnya sendiri pada Allah. Dia memang berhak membuat keputusan untuk kehidupannya sendiri dengan segala alasannya. Sebagai kaum yang paham tentang kewajiban berhijab akan merasa sangat sedih dengan kondisi seperti itu. Kenapa hidayah yang sudah datang justru diingkari. Sesungguhnya Allahlah yang mebolak-balikkan hati manusia, maka wahai ukhti teruslah berdo’a memohon pada Allah untuk tetap dalam keimanan kita,

اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Allahumma mushorrifal quluub shorrif quluubanaa ‘ala tho’atik” [Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu!

Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“ Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya.”

Di zaman yang serba canggih ini, banyak wanita yang mengaku muslimah tapi tenang-tenang saja ketika memamerkan auratnya di depan umum. Padahal agama Islam menyuruh seluruh umatnya untuk menutupi auratnya ketika di depan orang lain. Selain itu, banyak perempuan yang tidak istiqomah (berpegangan erat) dengan jilbab. Kadang-kadang mereka mengenakan hijab, kadang-kadang tidak. Padahal menutupi aurat itu hukumnya wajib, termasuk mengenakan hijab.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
"Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri orang-orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tak diganggu dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzab: 59).

Lantas apa hukuman bagi wanita yang suka lepas pasang jilbab atau tidak istiqomah mengenakan jilbab? Jika diteliti lebih jauh lagi, apa bedanya perempuan yang mempermainkan jilbab dengan orang yang mempermainkan agama? Perempuan yang mempermainkan jilbab bisa dianggap sebagai orang yang munafik dan tidak patuh terhadap perintah Allah.

"Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentu kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam." (QS. An-Nissa: 140).

Allah SWT melarang umatnya memperolokan atau mempermainkan ayat-ayat yang telah diturunkan. Dalam arti lain, orang yang mengingkari atau tidak patuh terhadap ayat-ayat Alquran sama saja dengan memperolokan ayat-ayat Allah.

Kembali lagi kepada perempuan yang mempermainkan jilbab dan menganggap jilbab itu hanya hiasan, atau sekedar pakaian yang bisa dibuka kapan saja mereka mau, maka mereka sudah dianggap sebagai golongan orang munafik. Dan tempat untuk orang munafik adalah neraka Jahannam.

Sahabat muslimah, maksud lepas pasang jilbab di sini adalah perempuan yang kadang memakai jilbab ketika sedang di luar rumah, tapi sering pula mereka melepas jilbabnya ketika di luar rumah. Atau dalam beberapa kasus, ada perempuan yang mengenakan jilbab hanya untuk cari sensasi, bukan semata-mata karena Allah, sehingga bila ada kecewa, sakit hati atau masalah kehidupan wanita tersebut dengan mudah melepaskan jilbab yang selama ini sudah dikenakannya. Wahai ukhti fillah istiqomah dan taatlah dalam perintah Allah tentang berhijab, bahkan sempurnakanlah caramu berhijab. Hidup ini singkat dan sungguh kehidupan di dunia ini hanya perhiasan dan tempat tinggal sementara. Jangan sampai kita menyesal pada saat sudah di alam barzah, ketika catatan amal dan kebaikan kita dibuka. Tentu tidak mungkin kita kembali lagi untuk bisa memperbaiki diri, waktumu sudah habis. Renungkanlah saudaraku muslimah.

Teruslah perbaiki caramu berhijab ukhti fillah

Note : Artikel ini disarikan dari berbagai sumber via google searching